Di Indonesia sendiri, keberadaan pawang hujan masih dipercayai sebagian masyarakat. Di daerah saya, ada yang disebut dengan nyarang. Nyarang di sini adalah upaya agar hujan tidak turun dalam event tertentu.
Saya tidak tahu bagaimana mekanisme kerjanya, akan tetapi banyak masyarakat yang percaya akan hal itu. Di sisi lain, masyarakat percaya  bahwa hujan adalah murni kehendak Tuhan YME.
Akan tetapi, perlu adanya usaha atau biasa disebut dengan nyareat, nyareat tersebut ialah dengan melakukan nyarang tadi. Akan tetapi, hakikatnya urusan cuaca tetap diserahkan pada kehendak-Nya.
Di sisi lain, nyarang di sini bukan bermaksud menghentikan hujan itu sendiri akan tetapi memindahkan ke tempat lain.
Meski ada yang menyebut profesi pawang hujan itu musyrik, nyatanya seorang Kiyai mampu melakukan hal itu dan kemampuan itu disebut dengan karomah.
Pada tahun 1984, Nahdlatul Ulama (NU) mengadakan muktamar yang bertempat di pesantren Salafiyyah Sya’fi’iyyah, asuhan Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Kegiatan itu rencananya akan dihadiri oleh almarhum Presiden Soeharto. Rencananya, presiden akan tiba dengan menggunakan helikopter dan akan mendarat di lapangan Sodung. Jaraknya sekitar 2 km dari pesantren.
Kondisi lapangan sendiri berdebu, untuk itu dibentuklah panitia khusus yang ditugaskan untuk menyiram lapangan tersebut dengan hujan buatan dengan cara menggunakan tangki truk berisi air.Â
Saat panitia khusus sedang membasahi lapangan, tiba-tiba Kiai As’ad datang. Beliau mengatakan bahwa anggaran yang digunakan untuk menyirami lapangan itu hendaknya digunakan untuk membenahi jalan di sebelah utara pesantren saja.
Komandan penyiram tersebut tentu merasa bingung, dan ia menyebut hanya menjalankan tugas saja.
Sejurus kemudian, apa yang dikatakan Kiai As’ad menjadi kenyataan. Ketika beliau meninggalkan lapangan, perlahan hujan turun. Bahkan, air hujan itu semakin lama semakin deras.