Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Heboh Pernikahan Beda Agama, Bagaimana Keabsahannya?

10 Maret 2022   18:16 Diperbarui: 10 Maret 2022   19:17 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jagat maya dihebohkan dengan pernikahan beda agama yang terjadi di Semarang. | Source: liputan6.com

Warganet dibuat heboh dengan foto pernikahan yang tersebar di dunia maya. Di dalam foto tersebut nampak seorang perempuan memakai hijab putih dan gaun dengan warna senada.

Sementara sang mempelai lelaki memakai jas hitam. Tidak lupa, kedua keluarga mempelai turut hadir di sana. Namun, ada yang unik dari foto tersebut.

Kedua foto mempelai tersebut berlatar di gereja. Hal itu karena terdapat simbol salib di belakangnya. Sontak saja hal itu membuat heboh karena pernikahan tersebut beda agama.

Belakangan diketahui bahwa memang foto tersebut adalah pernikahan beda agama. Lokasi foto tersebut bertempat di sebuah gereja di Semarang Jawa Tengah.

Menurut beberapa sumber yang saya himpun, kedua pasangan telah berkonsultasi selama dua tahun perihal pernikahan beda agama tersebut.

Dilansir dari CNN Indonesia, sang lelaki merupakan penganut katolik sementara sang wanita seorang muslim. Di sisi lain, Achmad Nurcholis selaku konselor pernikahan menyebut jika menikah beda agama bukan hal yang mustahil.

Hal itu karena pernikahan tersebut dilakukan dengan dua tata cara. Pertama yaitu pemberkatan di gereja dan kedua adalah akad nikah bagi pengantin wanita.

Keabsahan

Pada prinsipnya, setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Hal itu karena sudah dijamin dalam UUD 1945 dan merupakan bagian dari hak asasi manusia.

Sebagai negara yang religius, di Indonesia sendiri pernikahan tidak hanya sekadar ikatan hukum semata. Lebih dari itu, pernikahan adalah ikatan keagamaan.

Hal ini tentu berbeda dengan sistem hukum barat yang memandang pernikahan hanya sebatas perbuatan hukum saja, terutama hukum perdata.

Oleh karena pernikahan di Indonesia merupakan ikatan keagamaan, maka untuk menentukan sah atau tidaknya suatu pernikahan ditentukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing individu.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan:

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Penafsiran dari Pasal 2 ayat 1 di atas menyatakan tidak ada perkawinan di luar hukim masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, seseuai dengan UUD 1945.

Lantas, yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya adalah termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain oleh undang-undang perkawinan.

Dari penafsiran itu dapat ditarik satu konklusi jika perkawinan mutlak harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

Jadi, bagi orang islam hendaknya melakukan pernikahan dengan tata cara agama islam, begitu juga dengan agama kristen, hindu dan lain-lain.

Lantas, apakah pernikahan beda agama itu bisa dibenarkan? Adakah satu hukum positif di Indonesia yang melarangnya? Atau, jika kita melihat contoh di atas, apakah dengan melakukan dua tata cara perkawinan beda agama perkawinan itu menjadi sah?

Memang tidak ada satu pun hukum positif di Indonesia yang mengatur akan hal ini. Seperti yang sudah dibahas, perihal ini tentu dikembalikan lagi pada agama dan kepercayaan masing-masing.

Di sini, saya hanya akan melihat dari sisi sudut pandang hukum islam saja karena saya tidak mengetahui dari sisi hukum agama lain.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan beda agama jelas dilarang hal itu dijelaskan dalam Pasal 44 KHI yang menyatakan:

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam

Tentu saja jika hal itu tetap dilakukan maka pernikahan tersebut tidak sah. Jika pernikahan tidak sah, maka ada konsekuensi yang akan dihadapi.

Di dalam KHI, anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah hanya memiliki ikatan perdata dengan ibunya saja, dan dianggap sebagai anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.

Selain itu, kedudukan anak seperti itu sangat berpengaruh dalam hal waris. Tentu sah yang dimaksud dalam KHI adalah sah secara agama dan hukum yang berlaku.

Sah menurut hukum yang berlaku adalah pernikahan tersebut harus dicatat di kantor pencatatan sipil. Akan tetapi, yang menentukan sah atau tidaknya jelas tata cara pernikahan itu sendiri.

Pernikahan sah secara agama bukan berarti sah secara hukum apabila tidak dicatatkan menurut undang-undang yang berlaku. Maka, konsekuensi yang akan dihadapi jika menikah beda agama adalah dalam pencatatan perkawinannya.

Bagi yang beragama muslim, maka pencatatan pernikahan tersebut dilakukan oleh pegawai pencatat, sedangkan bagi mereka yang beragama di luar muslim dilakukan di Kantor Pencatatan Sipil.

Jika pernikahan tersebut dilakukan dengan dua tata cara keagamaan, di manakah pernikahan itu akan dicatat? Tentu saja hal ini ambigu.

Dari kasus ini, jelas ada jurang pemisah antara hukum agama dan hukum positif. Ketika satu aturan hukum agama berbeda dengan agama yang lain dan hukum positif tidak mengaturnya, maka terjadi kekosongan hukum.

Dalam agama islam jelas pernikahan beda agama dilarang, tapi bisa saja agama lain diperbolehkan. Lalu, jika terjadi pernikahan di antara kedua agama itu, tentu membingungkan karena aturan tersebut dikembalikan pada agama masing-masing.

Konsekuensinya adalah salah satu pasangan harus tunduk pada salah satu hukum agama tersebut. Dengan kata lain pindah keagamaan.

Beda halnya jika ada aturan khusus yang secara tegas melarang pernikahan beda agama. Maka pernikahan beda agama tidak akan terjadi, akan tetapi sekali lagi dalam membentuk suatu aturan hukum harus digali dari nilai-nilai yang ada di masyarakat termasuk norma agama.

Oleh karenanya, UU Perkawinan sejatinya adalah satu payung hukum yang mengatur semua agama karena pelaksanaan perkawinan itu sendiri dikembalikan pada agama masing-masing.

Begitu juga dengan pernikahan beda agama, setiap agama memiliki aturan yang berbeda. Oleh sebab itu, sebagai bangsa yang religius hendaknya mematuhi aturan agama yang dianut.

Terkecuali, jika aturan hukum kita yaitu hukum perkawinan dipisahkan dari hubungan keagamaan. Namun, jika hal itu dipisahkan, tentu akan menimbulkan perdebatan di masyarakat.

Singkat kata, hubungan LDR yang paling jauh bukan soal jarak yang memishkan, tapi berbeda keyakinan adalah LDR yang sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun