Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam
Tentu saja jika hal itu tetap dilakukan maka pernikahan tersebut tidak sah. Jika pernikahan tidak sah, maka ada konsekuensi yang akan dihadapi.
Di dalam KHI, anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah hanya memiliki ikatan perdata dengan ibunya saja, dan dianggap sebagai anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.
Selain itu, kedudukan anak seperti itu sangat berpengaruh dalam hal waris. Tentu sah yang dimaksud dalam KHI adalah sah secara agama dan hukum yang berlaku.
Sah menurut hukum yang berlaku adalah pernikahan tersebut harus dicatat di kantor pencatatan sipil. Akan tetapi, yang menentukan sah atau tidaknya jelas tata cara pernikahan itu sendiri.
Pernikahan sah secara agama bukan berarti sah secara hukum apabila tidak dicatatkan menurut undang-undang yang berlaku. Maka, konsekuensi yang akan dihadapi jika menikah beda agama adalah dalam pencatatan perkawinannya.
Bagi yang beragama muslim, maka pencatatan pernikahan tersebut dilakukan oleh pegawai pencatat, sedangkan bagi mereka yang beragama di luar muslim dilakukan di Kantor Pencatatan Sipil.
Jika pernikahan tersebut dilakukan dengan dua tata cara keagamaan, di manakah pernikahan itu akan dicatat? Tentu saja hal ini ambigu.
Dari kasus ini, jelas ada jurang pemisah antara hukum agama dan hukum positif. Ketika satu aturan hukum agama berbeda dengan agama yang lain dan hukum positif tidak mengaturnya, maka terjadi kekosongan hukum.
Dalam agama islam jelas pernikahan beda agama dilarang, tapi bisa saja agama lain diperbolehkan. Lalu, jika terjadi pernikahan di antara kedua agama itu, tentu membingungkan karena aturan tersebut dikembalikan pada agama masing-masing.
Konsekuensinya adalah salah satu pasangan harus tunduk pada salah satu hukum agama tersebut. Dengan kata lain pindah keagamaan.