Misalnya di dalam Pasal 8 mengatakan, jika presiden berhenti, diberhentikan, atau tidak melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, maka posisi tersebut diisi oleh Wakil Presiden.
Jika terjadi kekosongan pada Wakil Presiden, maka presiden mengusulkan dua calon wakilnya yang kemudian akan dipilih oleh MPR dalam sidang.
Lalu, bagaimana jika kedua posisi itu kosong? Maka untuk mengisi kekosongan tersebut diisi oleh Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan.
Namun sekali lagi itu terjadi apabila presiden dan atau wakil presiden berhenti, diberhentikan, dan atau tidak melakukan kewajiban dalam tugasnya.
Artinya tidak ada metode untuk mengisi kekosongan jabatan presiden jika pemilu ditunda. Apalagi, jika pemilu ditunda akan bertabrakan dengan Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur masa jabatan presiden 5 tahun.
Maka, skenario terburuk untuk menunda pemilu adalah dengan amandemen UUD 1945 yaitu menambah masa jabatan presiden menjadi tujuh tahun. Lantas, jika benar skenario itu terjadi, atas dasar apa pemerintah duduk di posisi tersebut?
Apakah berdasar legitimasi rakyat (hukum) atau politik kekuasaan semata? Padahal dengan jelas dan tegas bahwa negara kita adalah negara hukum.
Artinya, untuk menduduki suatu jabatan tertentu harus sesuai dengan instrumen hukum dalam hal ini adalah pemilu.Â
Lalu, bagaiman dengan alasan kepuasan masyarakat apakah itu bisa dijadikan alasan untuk menunda pemilu? Itu pun tidak bisa dijadikan alasan.Â
Kita seharusnya berkaca, kekuasaan yang tidak dibatasi hanya akan melahirkan kepemimpinan yang otoriter. Kekuasaan tanpa hukum hanya akan melahirkan kelaliman.
Motif Politik
Apa yang dilakukan oleh Cak Imin tidak lebih dari sekadar motif politik. Mengapa demikian? Seperti yang diketahui, Cak Imin memiliki hasrat untuk maju menjadi capres dalam pemilu 2024.