Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Good Looking Masuk ke Ranah Pilpres Amerika Serikat

11 Maret 2022   20:16 Diperbarui: 12 Maret 2022   08:06 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup akan lebih mudah dan indah jika kita good looking. (Anonim)

Frasa good looking atau berpenampilan menarik dianggap sebagai privilese oleh sebagian orang. Penampilan rupawan dianggap sebagai nilai plus karena dapat memudahkan dalam suatu urusan, misalnya pekerjaan.

Bukan rahasia lagi, beberapa perusahaan kerap memberi syarat "berpenampilan menarik" sebagai syarat untuk bekerja. Akan tetapi, hal itu wajar jika posisi yang ditawarkan bertujuan untuk menarik pembeli.

Perihal penampilan yang disebut sebagai privilese dan memuluskan jalan untuk mencapai tujuan bukan hal baru, bahkan terjadi dalam ranah politik. Hal ini pernah terjadi pada Pemilu Presiden Amerika Serikat.

Pada saat itu, orang Amerika dinilai salah dalam memilih pemimpin lantaran terkecoh dengan penampilannya yang menawan. Ialah Warren G. Harding yang disebut memiliki penampilan rupawan pada masa itu.

Warren G. Harding. | Source: biography.com
Warren G. Harding. | Source: biography.com

Penampilan Harding dari ujung rambut sampai ujung kaki mampu membuat orang terpesona. Proporsi tubuhnya begitu sempurna sehingga kata rupawan memang pantas disematkan padanya.

Langkah kakinya yang ringan, tubuh yang tegap serta penampilan yang necis seakan menasbihkan bahwa ia adalah pria jantan sejati. 

Matanya yang lebar dan berbinar, rambut hitam yang lebat, dan kulitnya yang agak gelap mampu memberi kesan seakan ia adalah bangsawan India.

Kesantunannya ketika menawarkan tempat duduk pada orang lain seolah menunjukkan sikap rendah hati. Sikapnya yang memberi persenan kepada pelayan menggambarkan kedermawanan yang alami.

Dari sisi penampilan juga dijaga, sepatu yang dipakai selalu hitam mengkilat. Kesadarannya akan berbusana membedakan ia dengan lelaki lain di kampung halamannya.

Meski good looking, nyatanya sikap Harding tidak berbanding lurus dengan penampilannya yang rupawan. Ia juga disebut bukan orang yang cerdas bahkan hobi bermain golf, poker, hingga minum sampai mabuk.

Di dalam karier politiknya, ia tidak pernah sekali pun menonjolkan diri. Ia bahkan peragu dan plin-plan. Setelah ia menjadi anggota Senat Amerika Serikat tahun 1914, ia bahkan tidak hadir dalam acara debat.

Padahal acara debat tersebut membahas dua hal penting di AS kala itu, yaitu soal hak kaum perempuan dalam pemilu dan aturan yang melarang pembuatan dan penjualan minol. 

Namun, penampilan yang rupawan itu bisa menutupi segala sisi buruk yang dimiliki oleh Harding. Pada suatu hari, Harding diundang oleh Partai Republik sebagai calon keenam presiden.

Nahas, konvensi partai tersebut menemui jalan buntu dan harus menentukan dua calon terkuat. Lalu, kepada siapakah pilihan itu akan jatuh? Tentu tidak lain pilihan itu jatuh pada Harding si rupawan.

Nyatanya Harding terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat ke-29. Ia hanya memerintah selama dua tahun dan meninggal secara tiba-tiba karena stroke.

Kebanyakan sejarawan Amerika setuju jika Harding adalah presiden terburuk dalam sejarah Amerika Serikat. Kisah Harding di atas merupakan cuplikan dari buku Blink yang ditulis oleh Malcolm Gladwell.

Blink adalah buku yang membahas cara berpikir cepat atau dikenal dengan sebutan cuplikan tipis. Namun, cuplikan tipis ini tidak seutuhnya benar dan bisa saja error. 

Salah satunya adalah dalam menilai seseorang yaitu Warren G. Harding. Maka Gladwell menyebutnya dengan Warren Harding Error. 

Kesalahan orang Amerika dalam memilih Harding sebagai presiden adalah karena tidak menilai secara utuh. Penampilan yang rupawan membuat seseorang tidak menilai sampai jauh ke belakang.

Penilaian sekilas tersebut seakan men-generalisir seluruh sikap seseorang. Nyatanya, butuh waktu yang cukup lama untuk mengetahui seseorang, tentu tidak hanya dari sisi penampilan semata.

Fenomena Hallo Effect

Menilai seseorang dari luar atau dari penampilan saja tentu akan menimbulkan bias kognitif. Dalam ranah psikologi, hal ini disebut dengan hallo effect. Begitu juga dengan yang terjadi di atas, bagi saya hal itu terjadi karena biasnya penilaian.

Hallo effect adalah salah satu fenomena di mana seseorang hanya menilai orang lain sekilas saja, tapi kesimpulan tersebut bisa saja keliru.

Hallo effect atau istilah kekiniannya adalah first impression adalah ketika kita menilai seseorang berdasarkan apa yang pertama kali kita lihat pada orang berangkutan.

Misalnya pada kasus di atas, tentu kita akan terkecoh dengan penampilan Harding yang rupawan tersebut. Apalagi selalu berpakaian necis, maka kesan yang pertama kali muncul adalah ia pintar, tegas, dan berwibawa.

Begitu juga ketika kita menilai seseorang yang baru dikenal. Penampilan memiliki pengaruh besar dalam penilaian meski terkadang keliru. 

Fenomena hallo effect pertama kali muncul tahun 1920-an dan itu tidak sengaja. Penemunya adalah seorang psikolog bernama Edward L. Thorndike.

Penemuan ini disebut tidak sengaja lantaran ia meminta kepada seluruh atasan militer untuk memberi ranking pada bawahannya.

Kategori yang digunakan untuk menilai ranking seseorang adalah dari kualitas kepemimpinan dan kecerdasan. Namun, hasil yang diberikan oleh atasan tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan dua kategori tadi.

Mereka yang berada di ranking teratas rata-rata memiliki fisik sempurna, tampan, dan lain sebagainya yang tidak ada sangkut pautnya dengan kualitas kepemimpinan maupun kecerdasan.

Ilustrasi hallo effect. | Source: tugu.com
Ilustrasi hallo effect. | Source: tugu.com

Hallo effect memang sangat erat kaitannya dengan bias penilaian. Celakanya kesan pertama itu mampu memengaruhi pandangan kita secara keseluruhan terhadap orang lain.

Padahal hal itu belum tentu benar. Misalnya seperti fenomena crazy rich yang ramai saat ini, kebanyakan dari kita memiliki kesan bahwa mereka adalah orang yang benar-benar kaya, apalagi dibalut dengan flexing barang mewah.

Nyatanya, mereka tidak sekaya yang kita duga bahkan hasil kekayaan mereka dari hasil menipu. Bisa saja orang yang sederhana, memaki kolor dan makan di pinggir jalan adalah orang kaya sungguhan.

Untuk itu, penampilan dari luar tidak bisa dijadikan tolak ukur secara utuh untuk menilai seseorang. Hallo effect juga tidak baik dalam memandang seseorang.

Jika orang tersebut berpenampilan menarik tentu kesan pertama kita mereka orang baik, pun sebaliknya jika orang lain berpenampilan apa adanya maka kesan negatif akan menghantui pikiran.

Hallo effect jelas berbahaya jika pola pikir tersebut dibiarkan mengakar pada kita. Kesalahan dalam menilai orang lain hanya dari kesan pertama atau dari luar saja hanya akan memberi kesalahan berpikir saja.

Dalam kasus lain misalnya, banyak netizen yang terkecoh dengan artis yang dinilai baik di layar kaca, entah itu karena penampilan atau karena tampan.

Ketika artis tersebut terkena kasus narkoba, banyak orang yang tidak percaya bahkan menilai jika si artis yang bersangkutan adalah orang baik. Mirisnya, mereka semua kerap mendapat dukungan.

Akan tetapi, jika ada artis lain yang secara tampilan tidak "mencerminkan" orang baik, justru hujatan yang diterima. Oleh karena itu, cara pandang berpikir seperti ini harus kita hindari.

Apalagi jika sudah masuk ke ranah politik dalam hal ini memilih pemimpin. Tentu, kita tidak boleh memilih pemimpin hanya dari penampilan saja, akan tetapi harus dari sisi kemampuan dan integritasnya.

Begitu juga di lingkungan kerja, sekolah, maupun lingkungan lain. Nilailah seseorang dari kemampuannya bukan dari penampilan saja, bisa saja penampilan tidak selalu berjalan lurus dengan kemampuan.

Untuk memahami dan menilai orang lain tidak bisa sekilas, tentu ada proses yang panjang agar lebih komprehesif. Dengan begitu, kita akan terhindar dari cara berpikir yang keliru.

Pada intinya, kita jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan dalam menilai orang lain. Apalagi jika penilaian itu hanya sekilas dari apa yang kita lihat pertama kali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun