Kesukaran lainnya adalah bagaimana jika pelecehan seksual itu dilakukan oleh dua pengguna yang berbeda warga negara. Tentu akan sulit harus memakai hukum yang mana.Â
Apalagi jika beda server, mungkin saja definisi wilayah berlakunya hukum pidana harus mencakup pula metaverse. Namun, saya sendiri masih bingung, apakah di metaverse sana wilayah akan menjadi satu atau tidak.Â
Jika tidak ada batas negara atau server, tentu hukum akan sulit menjangkau dari sisi wilayah. Di dunia nyata lebih gampang, misalnya untuk KUHP berlaku di wilayah Indonesia untuk semua orang.Â
Hal itu karena batas-batas wilayah negara jalas. Bagaimana di metaverse sana? Apakah dipisahkan dengan server atau tidak? Bagaimana batasan wilayah negara di metaverse?Â
Jika tidak ada batasan negara, lantas aruran mana yang akan dipakai? Itulah yang mengganjal pikiran saya sampai saat ini.Â
Kebocoran data pribadi
Facebook merupakan salah satu initiator metaverse. Bahkan, induk perusahaannya berubah nama menjadi meta. Sampai saat ini, facebook masih menjadi media sosial dengan pengguna terbanyak.Â
Pada Januari 2021, pengguna aktif bulanan facebook mencapai 2.7 miliar di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, pada tahun 2020 pengguna facebook mencapai 140 juta.Â
Sebagai media sosial dengan pengguna terbanyak, tentu facebook memiliki kewajiban untuk menjaga data pengguna agar tidak bocor.Â
Tentu saja data yang bocor rawan disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, bahkan politik. Kebocoran data facebook di Amerika adalah bukti nyata bahwa data bisa dimanfaatkan sebagai basis kuat dalam politik.Â
Sebanyak 50 juta pengguna data facebook dimanfaatkan untuk kampanye pemenangan oleh Donald Trump pada pemilihan presiden AS 2016 lalu.Â
Data yang bocor tersebut dimanfaatkan oleh Cambridge Analytica, sebuah perusahaan konsultasi politik di Inggris. Data tersebut kemudian digunakan untuk memetakan karakteristik pemilih.Â