Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nepotisme dan Kekuatan "Orang Dalam" yang Masih Dilestarikan

11 Desember 2021   06:05 Diperbarui: 11 Desember 2021   06:05 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi nepotisme. | Sumber: nusantaranews.com

Jika di perguruan tinggi ada jurusan orang dalam, pasti orang berbondong-bondong mendaftar.

Tulisan ini bersumber dari pengalaman penulis... 

Suatu pagi, datang seorang kawan yang bekerja di pemda. Ia memberi informasi jika di pemda membuka lowongan kerja untuk posisi hukum. Tugasnya adalah menganalisa peraturan daerah. 

Di dalam brosur itu, dibutuhkan dua orang untuk mengisi posisi tersebut. Satu laki-laki dan satu perempuan. Syaratnya ialah bergelar sarjana hukum dengan jurusan Hukum Tata Negara. 

Dengan riang, akhirnya saya menuju ke pemda karena memenuhi syarat tersebut. Setibanya di pemda, saya adalah orang pertama yang melamar dan kebetulan orang yang akan mewawancarai saya tak hadir. 

Jadilah saya hanya menyimpan surat lamaran, fc ijazah, cv, dan nomor kontak. Petugas di sana kemudian berkata akan menghubungi saya jika atasannya tiba. 

Satu minggu menunggu tak ada kabar, dua minggu tak ada juga, akhirnya saya hanya ikhlas. Tak lama setelah itu, kawan saya datang dan bercerita jika posisi yang saya lamar sudah diisi oleh orang lain. 

Dua-duanya diisi perempuan, meskipun keduanya bergelar sarjana hukum, namun keduanya tidak mengambil konsentrasi Hukum Tata Negara. Begitu kata teman saya, saya hanya bisa menduga mereka mengambil program kekhususan pidana atau perdata.

Dari situlah saya tidak berharap apapun lagi. Ujar teman saya, mereka bisa masuk karena ada peran seseorang. Katanya sih orangnya berpengaruh di pemda. 

Itu adalah gambaran kecil bagaimana praktik nepotisme masih meraja lela di negara ini. Bahkan di instansi pemerintah. Bukannya iri, menohok sekali, pasalnya sudah jelas yang dibutuhkan adalah satu pria dan satu wanita, tapi yang diterima keduanya wanita.  

Selain itu, kualifikasi mereka pun tidak sesuai. Tapi saya hanya husnudzon, mungkin mereka begitu maphum dengan legal drafting, pemda, dan lainnya. Itu modal yang bagus untuk mengisi posisi tadi. 

Budaya warisan zaman orde baru itu lestari hingga saat ini. Bahkan budaya suap menyuap masih kental. Baik itu di instansi pemerintah, pendidikan, maupun instansi lain. 

Di daerah saya ada istilah "mencari uang harus dengan uang." Istilah itu bukan omong kosong, tapi benar adanya dan sudah menjadi rahasia umum. Jika tak punya orang dalam untuk praktik nepotisme, maka pilihan kedua adalah suap. 

Contoh yang sederhana adalah untuk kelas pabrik, untuk bekerja di pabrik besar yang berbentuk PT, rasanya sulit untuk masuk secara murni. Maka kebanyakan orang rela menjual harta untuk menjadi pemulus agar bisa kerja. Itu kelas pabrik. 

Instansi pendidikan pun sama, saya masih ingat saat pertama kali masuk SMP. Kala itu syarat masuk SMP Negeri tidak ditentukan lewat zonasi, melainkan nilai UN. Kebetulan saat itu nilai UN saya cukup tinggi dan bisa masuk ke sekolah negeri. 

Saya mendaftar bersama ibu, semua syarat saya lampirkan. Esok harinya saya datang kembali untuk mengambil surat kelulusan. Sekolah SMP tempat saya mendaftar bisa dibilang favorit, maka yang mendaftar begitu banyak. 

Satu persatu petugas memberi amplop yang berisi surat kelulusan. Di amplop tersebut tertera nama siswa, hampir dua jam lebih nama saya tak dipanggil sama sekali. Akan tetapi, ibu saya curiga karena ada satu amplop yang dipisah oleh petugas. 

Ibu saya pun bertanya perihal amplop tersebut. Petugas berdalih jika amplop itu ada yang punya. Ibu saya penasaran dan terus bertanya, kemudian si petugas membuka amplop itu karena ibu saya ngeyel. 

Saya dan ibu terkejut ketika membuka isi amplop itu. Nama perempuan tertera di situ, anehnya tanggal lahirnya sama dengan tanggal lahir saya, begitu juga dengan nama orang tua, dan nilai UN. 

Tentu saja ibu saya protes, kebetulan saat itu saya membawa dokumen lengkap. Mulai dari ijazah, SKHUN hingga KK. Ibu saya marah besar dan protes akan hal itu, saya yang masih ingusan tak tahu apa-apa soal itu.

Ibu saya terus protes dan menayakan mengapa nama saya berubah menjadi perempuan. padahal semua identitasnya sama, bahkan nama orang tua dan nilai UN sama. 

Pihak sekolah yang panik berdalih jika salah ketik, kemudian mencoret nama perempuan itu dan diganti dengan nama saya. Aneh sekali. Tidak hanya berhenti di situ, ketika pembagian kelas pun nama saya tidak tercantum di dalam daftar. 

Dari ratusan murid yang dipanggil, nama saya dan "beberapa siswa" tidak ada dalam daftar. Saya yang waktu itu hanya anak ingusan tak tahu menahu soal itu, kemudian aang guru membawa "murid-murid" yang tak ada dalam daftar ke ruangan. 

Sang guru kemudian mengeluarkan daftar "kedua." Di situ nama-nama yang tidak ada dalam daftar pertama terkumpul. Kemudian sang guru menempatkan murid tersebut ke kelas yang disebutkan. 

Hanya nama saya yang masih tidak ada dalam daftar. Sang guru kemudian menempatkan saya di kelas paling ujung, saya masih ingat sampai saat ini, kelas saya adalah kelas VII K. 

Karena masih anak-anak, saya iseng bertanya kepada teman saya berapa nilai UN mereka. Saya terkejut, ternyata banyak teman sekelas saya yang nilai UNnya di bawah dan tak memenuhi standar masuk sekolah negeri ini. 

Kejadian belasan tahun itu baru terpikir sekarang. Nepotisme, suap menyuap seakan menjadi hal lumrah dalam beberapa bidang. Ketika itu, sempat heboh anak Ridwal Kamil tidak masuk sekolah negeri karena tidak memenuhi syarat. 

Momen itu seharusnya hal biasa jika praktik kotor tersebut tidak ada. Akan tetapi, momen tadi seakan langka, apalagi jika yang bersangkutan memiliki hubungan yang kuat dengan kekuasaan. 

Nepotisme tak hanya terjadi dalam lingkup yang saya sebutkan di atas. Bahkan terjadi dalam ranah politik. Di Banten misalnya, hampir semua kepala daerah di sana diperintah oleh keluarga sehingga membentuk dinasti.

Meskipun pemilihan dikembalikan pada rakyat, akan tetapi proses penetapan calon pemimpin yang diusung oleh partai tidak bisa lepas dari nepotisme. 

Apalagi, jika partai politik tersebut didirikan oleh keluarga tertentu. Maka posisi sentral di partai pasti tidak akan jauh dari keluarga. Begitulah kenyataan sebenarnya. 

Meskipun ada yang menyebut jika nepotisme itu boleh, asalkan orang yang bersangkutan benar-benar memiliki kapasitas mumpuni. Tetap saja hal itu hanya akan menghilangkan persaingan semata. 

Maraknya praktik nepotisme di beberapa sektor, membuat persaingan untuk menunjukkan siapa yang layak jelas tidak ada. Tentu saja hal itu akan membunuh kesempatan orang lain yang memiliki kapasitas yang lebih mumpuni. 

Jika hal ini dibiarkan, maka cita-cita menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN hanya omong kosong. Tidak seperti korupsi, rasanya nepotisme kurang mendapatkan perhatian.

Padahal perbuatan ini jelas dilarang, khusunya oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 199 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih Dari KKN. 

Padahal, nepotisme sama kotornya seperti korupsi. Hal itu karena nepotisme hanya menghilangkan persaingan dan dinilai bisa menyingkirkan orang-0rang yang berkompeten. 

Nepotisme merupakan cikal awal dari abuse of power. Seseorang yang memiliki kuasa lebih secara naluri akan memberi karpet merah pada kerabat atau orang terdekat untuk mempertahankan kekuasaan. 

Jika dibiarkan terus menerus, bukan tidak mungkin suatu lembaga atau korporasi akan menjadi sebuah dinasti. Peluang untuk melakukan korupsi pun semakin tinggi karena terbukanya kesempatan itu. 

KKN adalah perbuatan hina, VOC yang saat itu merupakan korporasi dagang terbesar hancur gara-gara praktik KKN. Begitu juga dengan negara, bukan tidak mungkin jika negara ini akan hancur jika KKN masih ada. 

Untuk itu, sekecil apapun nilai suapmu, atau sekecil hadiahmu pada para pejabat, hal itu harus dihindari. Kita tidak akan bisa melakukan hal yang lebih besar jika hal-hal kecil di atas belum bisa kita atasi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun