Selain itu, kualifikasi mereka pun tidak sesuai. Tapi saya hanya husnudzon, mungkin mereka begitu maphum dengan legal drafting, pemda, dan lainnya. Itu modal yang bagus untuk mengisi posisi tadi.Â
Budaya warisan zaman orde baru itu lestari hingga saat ini. Bahkan budaya suap menyuap masih kental. Baik itu di instansi pemerintah, pendidikan, maupun instansi lain.Â
Di daerah saya ada istilah "mencari uang harus dengan uang." Istilah itu bukan omong kosong, tapi benar adanya dan sudah menjadi rahasia umum. Jika tak punya orang dalam untuk praktik nepotisme, maka pilihan kedua adalah suap.Â
Contoh yang sederhana adalah untuk kelas pabrik, untuk bekerja di pabrik besar yang berbentuk PT, rasanya sulit untuk masuk secara murni. Maka kebanyakan orang rela menjual harta untuk menjadi pemulus agar bisa kerja. Itu kelas pabrik.Â
Instansi pendidikan pun sama, saya masih ingat saat pertama kali masuk SMP. Kala itu syarat masuk SMP Negeri tidak ditentukan lewat zonasi, melainkan nilai UN. Kebetulan saat itu nilai UN saya cukup tinggi dan bisa masuk ke sekolah negeri.Â
Saya mendaftar bersama ibu, semua syarat saya lampirkan. Esok harinya saya datang kembali untuk mengambil surat kelulusan. Sekolah SMP tempat saya mendaftar bisa dibilang favorit, maka yang mendaftar begitu banyak.Â
Satu persatu petugas memberi amplop yang berisi surat kelulusan. Di amplop tersebut tertera nama siswa, hampir dua jam lebih nama saya tak dipanggil sama sekali. Akan tetapi, ibu saya curiga karena ada satu amplop yang dipisah oleh petugas.Â
Ibu saya pun bertanya perihal amplop tersebut. Petugas berdalih jika amplop itu ada yang punya. Ibu saya penasaran dan terus bertanya, kemudian si petugas membuka amplop itu karena ibu saya ngeyel.Â
Saya dan ibu terkejut ketika membuka isi amplop itu. Nama perempuan tertera di situ, anehnya tanggal lahirnya sama dengan tanggal lahir saya, begitu juga dengan nama orang tua, dan nilai UN.Â
Tentu saja ibu saya protes, kebetulan saat itu saya membawa dokumen lengkap. Mulai dari ijazah, SKHUN hingga KK. Ibu saya marah besar dan protes akan hal itu, saya yang masih ingusan tak tahu apa-apa soal itu.
Ibu saya terus protes dan menayakan mengapa nama saya berubah menjadi perempuan. padahal semua identitasnya sama, bahkan nama orang tua dan nilai UN sama.Â