Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Cara Saya Berkomunikasi dengan Penyandang Tunarungu

6 Desember 2021   11:16 Diperbarui: 6 Desember 2021   16:57 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menteri Sosial Tri Rismaharini mendapat kritik keras ketika memaksa penyandang tunarugu untuk bicara di depan publik. Momen itu bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional 2021.

Risma memaksa penyandang tunarungu untuk bicara tanpa memakai alat. Risma beralasan ingin mengajarkan bahwa tanpa alat bantu pun ia bisa bicara. Risma berdalih agar mereka bisa memaksimalkan pemberian Tuhan. 

Tentu saja kejadian itu tidak elok, saya hanya bisa menduga, tidak ada maksud dari Ibu Risma untuk merendahkan, tapi cara yang ia gunakan sama sekali tidak tepat. Memang pada dasarnya, semua orang diberi panca indera oleh Tuhan. 

Tapi, tidak semua orang bisa memakai pemberian itu karena suatu hal. Jadi, bukan berarti tidak memaksimalkan anugerah Tuhan, toh karena katakanlah ada gangguan sejak lahir sehingga tak berfungsi. 

Berbicara soal disabilitas, saya berteman dengan salah satu penyandang tunarungu dan berteman akrab. 

Menurut keluarga, ia memang lahir dengan kondisi kurang beruntung, selain itu kondisi ekonomi yang sulit membuatnya tidak mampu membeli alar bantu. 

Sehingga, ketika tumbuh dewasa teman saya kesulitan berbicara. Tapi, ia bisa membaca dan menulis. Ia pun sempat sekolah meski hanya tamat jenjang SMP. 

Meskipun begitu, ia merupakan pekerja keras. Dia menghidupi kebutuhan sehari-hari menjadi pekerja di pabrik makanan. Jadi, meskipun memiliki kekurangan, ia memiliki semangat juang yang tinggi.

Teman saya yang bernama Wanda itu sama seperti anak milenial lain. Ia main sosmed, mempunyai hobi futsal bahkan menjalin kasih dengan gadis yang ia dambakan, meskipun berakhir tragis. 

Kisah cintanya yang kelabu tersebut kerap menjadi bahan candaan renyah saat berkumpul. Ketika berkumpul, saya selalu membuka pembicaraan dengan Wanda hanya dengan bahasa isyarat.

Ilustrasi bahasa isyarat | Sumber: ppdi.or.id
Ilustrasi bahasa isyarat | Sumber: ppdi.or.id

Jangan anggap saya bisa bahasa isyarat seperti di TV, tentu saja alakadarnya karena memang tidak belajar. 

Ketika saya bertanya kepadanya apakah ia bekerja hari ini atau tidak, saya hanya memeragakan pekerjaannya.

Pekerjaan Wanda yaitu menggiling tepung untuk dijadikan cireng dan ia hanya merespons dengan cara mengangguk atau menggeleng. 

Sesekali teman saya kerap memaksakan diri untuk berbicara. Tapi, yang jelas saya tidak bisa menangkap apa yang ia katakan karena tidak jelas. Jadi, saya sendiri lebih nyaman memakai bahasa isyarat. 

Tapi, teman saya ini setidaknya ingin memanggil nama teman-temannya. Jadi, ia begitu berusaha keras untuk berbicara. Kami pun menulis nama masing-masing lalu diucapkan oleh Wanda. 

Maka yang terdengar jauh dari apa yang ditulis. Misalnya untuk memanggil saya berubah menjadi "dai", "Asep" berubah menjadi "Atep", "Tandi" berubah menjadi "Tali", tapi itulah yang ia inginkan. Jadi, ketika berkumpul sesekali Wanda memanggil dengan nama-nama tadi. 

Saya sendiri lebih senang menepuk pundak Wanda daripada memanggil namanya. Atau menggunakan tatapan mata untuk memulai pembicaraan dengan Wanda. 

Ketika bermain futsal pun kami selalu mengajak Wanda. Ia memang hobi main bola, hanya saya saja yang suka bola tapi tidak bisa main. Jadi, saya hanya menonton dan bersikap bak seorang pelatih. 

Komunikasi yang dijalin saat bermain bola pun sama, memakai bahasa isyarat. Misalnya jika ingin meminta bola, maka acungkan tangan agar bisa dilihat oleh Wanda, dan ketika ia melihat isyarat itu, ia akan mengoper bolanya. 

Meskipun Wanda memiliki fisik yang tak sempurna, tapi lingkungan sekitar menerimanya dengan baik. Termasuk di lingkungan pertemanan. 

Saya dan kawan-kawan hanya menciptakan bahasa isyarat sendiri yang bisa dimengerti oleh Wanda dan teman-teman saja. 

Jelas saja bahasa tersebut tidak berpedoman pada bahasa isyarat baku yang telah memiliki standar jelas. 

Bahasa isyarat yang saya gunakan hanya ciptaan sendiri, tapi meskipun begitu hal tersebut tidak menghalangi komunikasi satu sama lain. 

Dari hal di atas, semua penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dan kehormatan sama di muka umum. Termasuk mendapat perlindungan dari negara berupa undang-undang. 

Perlindungan bagi penyandang disabilitas tersebut tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Di dalam UU tersebut, diatur secara rinci hak penyandang disabilitas. 

Setidaknya ada 22 hak disabilitas yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2016. Hak tersebut meliputi hak hidup, hak berpolitik, hak pendidikan, olahraga, kesehatan, pelayanan publik, dan hak lainnya. 

Untuk itu, agar semua hak itu terjamin, maka pemerintah dan masyarakat wajib melindungi hak-hak di atas. Salah satu kewajiban pemerintah daerah adalah menyediakan fasilitas umum yang ramah disabilitas. 

Begitu juga dengan layanan kesehatan, salah satunya vaksinasi. Para penyandang disabilitas harus mendapatkan pelayanan ini dengan baik. 

Mereka pun berhak mendapat perlakuan yang sama karena undang-undang telah melindungi mereka. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun