Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama FEATURED

Fenomena Paylater di Tengah Menjamurnya Pinjol Ilegal

24 November 2021   10:14 Diperbarui: 13 Mei 2022   06:08 2505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih baik dibayar kemudian hari daripada tidak belanja sama sekali

Kemajuan teknologi telah mengubah kebiasaan masyarakat. Beberapa aktivitas mulai beralih dari konvensional ke digital. Peralihan itu meliputi banyak sektor, mulai dari interaksi sosial, belajar, hingga belanja. 

Zaman sekarang, belanja tidak perlu lagi repot-repot datang ke mall. Tanpa ikut antre dengan yang lain, kita sudah bisa memesan barang yang diinginkan sambil rebahan di kasur. 

Menjamurnya marketplace membuat toko dan brand besar ikut serta dalam pasar online tersebut. Tidak hanya itu, pihak penyedia aplikasi juga membuat strategi agar para pengguna betah belanja.

Strategi tersebut beragam, misalnya dengan cara membuat rank pengguna yang tediri dari member silver, gold, hingga premium. Untuk mencapai rank itu tentu harus menyelesaikan misi seperti dalam game. 

Bedanya, di dalam misi ini pengguna harus menyelesaikan tantangan belanja. Misalnya sebulan harus belanja beberapa kali. Disadari atau tidak, hal itu bisa membuat seseorang gila belanja.

Jika sudah naik ke rank yang lebih tinggi, maka reward yang diberi bisa berupa diskon besar hingga cash-back. Itulah bentuk achievement dalam marketplace. 

Selain rank di atas, jika kita rajin menyelesaikan misi belanja dan telah mencapai rank premium, biasanya pihak aplikasi akan memberi hadiah spesial berupa paylater. 

Paylater adalah metode menangguhkan pembayaran atau berutang yang harus dilunasi dikemudian hari. Paylater makin digandrungi setelah menjamurnya marketplace. 

Metode paylater menjadi primadona selain metode pembayaran e-wallet, transfer, dan melalui minimarket. Paylater semakin melejit di Indonesia pada saat pandemi covid-19.

Kebijakan pemerintah yang menyuruh masyarakat untuk berdiam diri di rumah membuat banyak orang menghabiskan waktu dengan belanja online. Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya kurir yang berkeliaran di sekitar komplek.

Lebih efisien

Alasan orang menggunakan paylater karena mudah dan efisien. Kita bisa memakai paylater tanpa diminta slip gaji atau persetujuan dari bank. Hal itulah yang membuat paylater lebih digandrungi anak muda daripada kartu kredit.

Kartu kredit dianggap lebih eksklusif dan hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah mapan. Selain itu, mengurus kartu kredit juga ribet dan tentu ada bunga yang menghantui. 

Paylater seakan menjadi antitesis dari pinjol ilegal yang mencekik cusmtomer. | sumber: idxchanel.com
Paylater seakan menjadi antitesis dari pinjol ilegal yang mencekik cusmtomer. | sumber: idxchanel.com

Hal inilah yang membuat anak muda atau mereka yang belum berpenghasilan tetap memilih paylater. Paylater sendiri bukan tanpa bunga, ada bunga jika customer terlambat membayar. 

Namun, bunga itu kecil dan dianggap wajar. Seseorang cenderung belanja lebih banyak jika menggunakan paylater. Kakak saya yang hobi belanja online bisa belanja rutin hampir tiap bulan. 

Hal itu karena kemudahan yang diberikan oleh paylater. Ketika membeli sesuatu, maka paylater adalah opsi. Bayangkan saja barang yang harganya 100 ribu bisa dicicil hingga berbulan-bulan. 

Misalnya jika waktu cicilan adalah 5 bulan, itu artinya kita hanya perlu mengeluarkan 20 ribu tiap bulannya. Irit sekali bukan? Hal itulah yang membuat paylater begitu digandrungi. 

Sebenarnya paylater bukan hal baru, tapi paylater menemukan kejayaannya pada masa pandemi covid-19.

Forbes menyebut lebih dari separuh responden bisa berbelanja 10 hingga 40 persen lebih banyak dengan metode paylater ketimbang menggunakan kartu kredit.

Di Indonesia, popularitas paylater juga meroket. Laporan Daily Social (2019) menyebut bahwa paylater adalah produk finansial paling populer ketiga di Indonesia, di mana 56,7 persen dari 787 responden aware dengan fitur ini.

Tidak hanya marketplace yang menyediakan fitur in, kini dompet digital pun mempunyai layanan serupa. Misalnya GoJek yang menjadi salah satu e-wallet yang menyediakan fitur ini. 

Antitesis pinjol ilegal

Pemerintah saat ini tengah memerangi pinjol ilegal yang memakan banyak korban khususnya rakyat kecil. Beberapa kasus soal pinjol kerap kita dengar.

Bahkan bunga yang harus dibayar atas utang itu membuat kita geleng-geleng kepala. Selain itu, pihak pinjol kerap membuat teror pada customer yang terlambat membayar. 

Teror tersebut jelas kenaikan bunga yang tak masuk akal hingga berupa ancaman penyebaran data pribadi. Data pribadi customer seperti nomor HP dan KTP yang memberi kemudahan dalam meminjam justru dijadikan alat pembungkam. 

Tidak heran banyak warga yang depresi akibat teror pinjol ilegal ini. Pemerintah saat ini terus berupaya mengungkap dalang di balik maraknya pinjol ilegal. 

Pencegahan itu tidak hanya memblokir situs pinjol ilegal, tapi harus menyentuh ke akarnya, yaitu orang di balik itu semua. Oleh sebab itu, ini adalah ranahnya para penegak hukum.

Hal yang jauh berbeda dengan paylater. Kehadiran paylater seakan menjadi antitesis dari pinjol ilegal. Kemudahan yang berikan oleh perusahaan membuat fitur ini semakin laris manis. 

Selain itu, paylater kerap dianggap sebagai juru selamat saat tanggal tua dan dompet kering kerontang. Bunga keterlambatan pun murah dan tidak ada teror seperti pinjol. 

Hal itulah yang membuat paylater seakan menjadi angin segar, khususnya ketika dompet mulai mengering. Bahkan, orang yang belum berpenghasilan tetap saja bisa mengalokasikan dana untuk fitur ini. 

Meski memberi banyak kemudahan bagi kita, disadari atau tidak, paylater telah mendorong seseorang menjadi shopaholic alias kecanduan belanja. 

Tentu yang namanya candu tidak selamanya baik. Oleh sebab itu, sebaiknya kita menghindari perilaku tidak baik ini. Ada cara agar kita terhindar dari perilaku shopaholic. 

Cara paling sederhana tapi sulit kita harus bisa membedakan keinginan atau kebutuhan. Jika apa yang kita beli hanya sekedar keinginan, sebaiknya hindari.

Jika sudah menyangkut keinginan, biasanya akan terus ada dan seseorang akan terus terobsesi dengan keinginan yang lain. Jadi, rasa keinginan itu akan terus muncul. 

Keinginan akan sesuatu seperti monster yang bisa regenerasi. Jika kita potong badan si monster, maka tidak lama lagi akan sembuh. Begitu juga dengan keinginan, jika satu keinginan sudah terpenuhi maka akan muncul keinginan yang lain. 

Shopaholic juga sering dianggap sebagai syndrom dan menyangkut masalah kesehatan mental. Hal itu karena saat kita berbelanja dan keinginan itu terpenuhi, maka otak kita akan mengeluarkan rasa senang yang dipengaruhi hormon dopamin. 

Rasa senang itulah yang membuat kita candu. Keinginan akan terus ada selama manusia hidup, oleh karena itu kita harus bisa membatasi diri agar tidak terjerumus pada perilaku negatif tersebut. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun