Perubahan iklim dari hari ke hari kian nyata. Berubahnya iklim secara garis besar membawa dampak secara global. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa bumi yang kita huni mengalami peningkatan suhu tiap tahunnya.
Kenaikan suhu bumi membawa dampak domino bagi bumi yang kita huni. Sebut saja melelehnya es di kutub, lelehan es tersebut jelas membuat permukaan laut naik.Â
Jika permukaan laut naik, maka wilayah pesisir pantai terancam tenggelam. Beberapa riset juga sudah mengingatkan tentang bahaya dari naiknya suhu bumi.Â
Salah satu faktor kenaikan suhu bumi adalah emisi karbon. Emisi karbon sendiri merupakan hasil aktivitas pembakaran yang mengandung senyawa karbon.Â
Perkembangan industri saat ini harus kita akui menyumbangkan emisi karbon yang cukup besar. Selain itu, asap kendaraan bermotor juga membawa dampak nyata bagi perubahan iklim.Â
Jika kita hitung dengan kuantitas, maka emisi karbon itu akan menjadi jejak karbon. Jejak karbon adalah akumulasi karbon yang dihasilkan oleh individu, lingkungan, dan produk.Â
Menanggapi perubahan iklim tersebut, beberapa negara besar dunia seperti Jepang, Amerika termasuk Indonesia berusaha untuk mempercepat target Net-Zero Emmisions alias nol emisi karbon.Â
Strategi yang dilakukan pemerintah adalah pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). EBT tersebut meliputi solar fotovoltaik, angin, biomassa, panas bumi, hidro, energi laut, nuklir, hidrogen, dan battery energy storage systems.Â
Pemerintah Indonesia mempunyai target untuk mempercepat Net-Zero Emmsions setidaknya pada tahun 2060. Kita sebagai warga negara hendaknya mendukung upaya yang dilakukan oleh pemerintah.Â
Masalah lingkungan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Tapi menjadi tanggung jawab setiap individu. Hal itu karena setiap individu setidaknya meninggalkan jejak karbon.Â
Jadi, keliru apabila kita mendefinisikan emisi karbon hanya melihat asap parbik saja. Kita sebagai individu menyumbang emisi karbon, mulai dari kendaraan pribadi sampai makanan yang kita santap.
Sepiring makanan yang kita santap tanpa kita sadari menyumbang emisi karbon yang cukup besar. Jadi, makanan yang kita konsumsi bisa menentukan jumlah emisi karbon yang kita produksi. Mengapa demikian?Â
Di dalam satu piring makanan setidaknya terdapat dua produk berupa pertanian dan peternakan. Misalnya nasi, sayur, daging, dan telur. Semua makanan itu merupakan produk dari pertanian dan peternakan.Â
Nasi dan lauk pauk yang kita konsumsi tentu mengalami perjalanan panjang sampai akhirnya berada di atas piring kita. Tentu saja itu menghasilkan jejak karbon yang cukup besar.Â
Di balik nikmatnya kulit ayam, ada hutan yang dibakar dan dijadikan lahan kelapa sawit. Tentu saja hal itu membuat emisi karbon bertambah, sejauh ini sektor pertanian dan peternakan menyumbang emisi karbon yang besar.Â
Sektor pertanian dan peternakan sendiri menyumbangkan 25 persen emisi karbon secara global. Emisi tersebut merupakan akumulasi dari pengunaan pupuk pestisida hingga pembukuan lahan. Â
Sepiring makanan yang kita konsumsi jelas meliputi ritme panjang. Mulai dari pembibitan, pemberian pakan atau pupuk, sampai akhirnya didistribusikan ke mall atau pusat perbelanjaan yang kita beli.Â
Tentu saja agar bahan makanan itu awet, ada zat kimia yang membuat makakan itu segar. Sekali lagi, ini cukup berperan besar dalam emisi karbon. Jadi, masalah emisi karbon begitu kompleks bukan?Â
Tidak perlu menjadi aktivis untuk peduli lingkungan, kita juga bisa mengurangi emisi karbon dengan gaya hidup. Ada satu gaya hidup yang bisa kita coba. Gaya hidup ini memang tidak akan menghilangkan emisi karbon itu sendiri.Â
Tapi, setidaknya bisa menyeimbangkan antara emisi karbon yang dilepas ke atmosfer dengan mengurangi jumlah aktivitas yang menghasilkan emsisi karbon. Gaya hidup itu adalah locavore.Â
Locovere bisa diartikan sebagai gaya hidup untuk mengkonsumsi makanan yang diproduksi oleh masyarakat lokal atau ditanam sendiri. Kata lokal itu sendiri berjarak sekitar 60 km dari rumah.Â
Jarak tersebut tergantung, bisa juga diperluas jika berada di daerah pelosok. Jadi, kita mengutamakan mengkonsumsi makanan dalam radius tersebut.Â
Cara ini bisa dilakukan dengan membeli ke petani atau ke pasar tradisional. Makanan yang diproduksi secara lokal dinilai lebih sehat dibandingkan makanan kemasan yang ada di supermarket.Â
Hal itu karena para petani lokal cenderung tidak menggunakan pupuk kimia. Selain itu, bahan makanan yang ada di pasar tradisional tidak memiliki proses panjang seperti bahan makanan di supermarket.Â
Bahan makanan dari supermarket tentu memakai bahan pengawet dan diangkut dari jarak ribuan mil jauhnya. Tentu saja hal itu bisa menimbulkan emisi karbon yang besar.Â
Membeli dalam radius dekat dari rumah bisa memangkas emisi karbon. Apalagi jika tempat membeli makanan tersebut bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tentu saja ini efektif dalam mengurangi emisi karbon yang dihasilkan individu.Â
Selain mengurangi emisi karbon, locavore juga bisa membantu kesejahteraan petani lokal dan para pedagang. Tentu saja gaya hidup ini bisa membantu perekonomian sekitar.Â
Cara lain yang bisa kita lakukan adalah memanfaatkan halaman rumah untuk berkebun. Beberapa bahan makanan bisa kita tanam sendiri seperti cabai, tomat, dan bawang.Â
Tentu saja tanaman itu tidak memakan banyak lahan. Mengkonsumsi makanan yang kita tanam sendiri juga bisa mengurangi emisi karbon. Selain itu, makanan yang terbuang menjadi limbah bisa dijadikan sebagai kompos.Â
Memanfaatkan halaman rumah untuk menenam sayur-sayuran merupakan cara hidup locavore. Locavore tidak hanya mengkonsumsi makanan masyarakat lokal saja tapi makanan yang kita tanam.Â
Untuk mengurangi emisi karbon bisa dilakukan dengan banyak cara. Salah satunya adalah dimulai dari sepiring makanan yang kita santap.Â
Jadi, kita perhatikan kembali komposisi makanan yang ada dalam piring kita. Jika makanan kita berasal dari luar cobalah untuk saat ini mulai mengkonsumsi makanan lokal.Â
Emisi karbon tidak hanya dihasilkan oleh asap pabrik dan asap kendaraan, tapi satu piring makanan yang kita konsumsi juga menentukan kesehatan bumi yang kita huni.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H