Pemilihan umum (pemilu) adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih DPR, DPRD, DPD, dan Presiden dengan berpijak pada asas pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.Â
Secara umum, pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pada tahap itu, biasanya akan terjadi pergantian jabatan lembaga negara maupun pejabat daerah.
Pemilu merupakan ajang prestisius bagi siapa saja ingin memangku masa depan negeri ini. Akan tetapi, pelaksanaan pemilu nanti masih menuai polemik terutama setelah UU Pemilu dikeluarkan dari prolegnas dan tidak jadi direvsisi.Â
Pemilu sendiri bersandar pada UU No. 7 Tahun 2017, sedangkan untuk Pilkada mengacu pada UU No. 10 Tahun 2016. Pemerintah memutuskan untuk tidak merevisi kedua undang-udang tersebut.
Alasannya karena UU tersebut sudah berjalan dengan baik. Selain itu, untuk jadwal Pilkada dan Pemilu juga sudah diatur dalam UU tersebut. Jadi, tidak ada alasan lain untuk merevisi UU tersebut.Â
Batalnya Revisi UU Pemilu
Tentu saja kita tidak bisa menelan bulat-bulat alasan pemerintah mengeluarkan revisi UU Pemilu dari Prolgenas. Pasti ada satu kepentingan di dalamya, dan semua orang tentu bisa membaca hal ini.Â
Misalnya terkait nilai ambang batas presiden nanti. Berdasarkan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945, Capres/Cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. Tentu saja ada syarat yang harus dipenuhi.Â
Syarat tersebut adalah nilai ambang batas presiden sebesar 20 persen. Jika mengacu pada pemilu lalu, hanya PDIP lah yang mempunyai suara nasional sebanyak itu. Tentu saja keuntungan itu dipertahankan.Â
Apalagi setelah kampanye masif dari beberapa petingginya. Ini hanya dugaan saya sebagai masyarakat biasa. Selain itu, bagi saya tidak ada alasan untuk menunda pemilu 2024 nanti.