Jika hal ini terjadi, maka tentu sebuah kemunduran dalam sistem ketatangeraan kita. Urgensi PPHN itu sendiri masih dipertanyakan, hal tersebut karena kedaulatan tertinggi sepenuhnya  masih ada di tangan rakyat bukan lagi ada di tangan MPR.
Jika Presiden tidak menjalankan PPHN sebagaimana mestinya, tidak akan ada imbas politik apapun. MPR tidak mempunyai alasan untuk melakukan impeachment.
Kehadiran PPHN hanya relevan apabila MPR menjelma kembali sebagai lembaga tertinggi negara dan presiden bertanggung jawab kepada MPR.
Tentu saja hal ini menurunkan sistem presidensial yang selama ini dibangun.
Padahal dalam amandemen UUD 1945 haruslah memperkuat sistem presidensial.
Jika hal itu terjadi, sistem pemerintahan Indonesia tidak bisa disebut sebagai presidensial tetapi sudah mengarah pada parlementer.Â
Padahal, sejak GBHN tidak diberlakukan lagi, perencanaan pembangunan di Indonesia berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), dan saat ini yang berlaku adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2005.
Jika para elit politik ingin memperbaiki arah pembangunan Indonesia ke depan, amandemen UUD 1945 bukanlah jalan yang harus ditempuh. Cukuplah revisi undang-undang di atas.
Perubahan konstitusi memang suatu hal yang wajar dan memang dimungkinkan. Hal itu karena konstitusi buatan manusia, tidak selamanya konstitusi tersebut sesuai dengan zaman.Â
Untuk itu, dalam amandemen UUD harus memperhatikan relevansi terkait pasal yang ingin ditambah atau dihapus. Selama masih relevan, sebaiknya jangan.Â
Apalagi kondisi masih dalam pandemi covid-19. Amandemen rasanya kurang pas. Konstitusi kita dalam perubahannya termasuk rigid alias kaku.
Pada akhirnya perubahan konstitusi tidak hanya soal fleksibel, rigid, atau relevansi dengan perkembangan zaman. Tetapi, perubahan konstitusi tergantung pada kehendak penguasa.Â