Mengembalikan Kedudukan MPR
Amandemen ketiga UUD 1945 membuat MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Pada amandemen ketiga tersebut, kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai dengan undang-undang.
Jika sebelum UUD 1945 diamandemen, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. Hal tersebut karena MPR merupakan penjelmaan dari kedaulatan rakyat.Â
Adanya amandemen ketiga tersebut membuat MPR menjadi lembaga tinggi negara yang sejajar dengan lembaga negara lain seperti DPR, DPD, dan Presiden.
Amandemen ketiga tersebut membuat tugas MPR hanya seremonial saja. Praktis kewenangan MPR setelah amandemen ketiga tidak lebih hanya untuk melantik Presiden atau Wakil Presiden saja.
Selain itu, mungkin ada satu tugas lain yaitu sosialisasi empat pilar kebangsaan.
Jika melihat hal tersebut, boleh dikatakan bahwa MPR merupakan lembaga negara dengan kewenangan paling simpel dibanding dengan lembaga negara lain.
Dampak dari amandemen ketiga membuat kewenangan MPR seakan-akan lumpuh. Imbas dari amandemen ketiga tersebut adalah MPR tidak lagi berwenang menetapkan GBHN.
Kewenangan MPR menetapkan GBHN jelas karena MPR adalah jelmaan dari kedaulatan rakyat. Dengan adanya wacana amandemen kelima, tentulah ingin mengembalikan kewenangan MPR seperti semula.
Dengan menambahkan kewenangan MPR dalam mendesain PPHN tak lebih seperti mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Kehadiran PPHN tidak lebih untuk merekonsturksi GBHN yang eksis pada masa orde baru.
Karena MPR menjadi lembaga tertinggi, Pesiden mempunyai kewajiban untuk menjalankan GBHN tersebut. Selain itu, MPR juga memiliki kewenangan untuk meminta pertanggung jawaban Presiden.
Jika MPR kembali pada kedudukan semula, maka MPR berwenang untuk memilih Presiden/Wakil Presiden. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip demokrasi yang selama ini dibangun.