Apalagi budaya kita juga tidak seperti itu. Selain itu, di Indonesia juga masih dikenal dengan prinsip banyak anak banyak rezeki. Budaya-budaya tersebut jelas begitu kontradiktif dengan childfree.
Apalagi, orang Indonesia selalu sibuk mengurus kehidupan orang lain. Misalnya jika seseorang belum menikah akan terus ditanya kapan menikah dan seterusnya.
Bahkan, tidak jarang ada yang menciptakan standar kehidupan. Di usia sekian harus menikah dan sebagainya.
Setelah menikah, tentu masih ada lagi pertanyaan yaitu kapan punya anak.
Sekelumit budaya itulah yang membuat childfree begitu kontradiktif dan sulit diterima di Indonesia. Budaya kolektif tersebut membuat sebagian orang merasa terganggu. Bagi saya, hal-hal yang menyentuh urusan privat tidak perlu disinggung.
Pandangan tentang childfree
Tentunya beberapa orang mempunyai pandangan tersendiri tentang childfree. Saya tidak akan membahas dari sisi ilmu lain, saya tidak memiliki keahlian untuk itu. Karena memang bukan ahlinya.
Saya hanya akan melihat dari disiplin ilmu yang saya geluti. Seperti yang sudah saya singgung di awal artikel ini. Perihal pernikahan dan melanjutkan keturunan merupakan hak.
Bagi saya, hak tersebut mutlak karena sudah melekat sejak lahir pada manusia sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Setiap orang tentunya bisa memilih kapan untuk menggunakan hak tersebut. Jika ada yang memutuskan untuk tidak memiliki anak, maka satu pasangan tersebut memilih untuk tidak memakai hak melanjutkan keturunan.
Tidak ada yang bisa mengintervensi terkait itu, karena ini murni ranah pribadi. Begitu juga dengan keputusan seseorang untuk memilih tidak menikah.
Sejatinya itu adalah pilihan, yaitu memilih untuk tidak menggunakan haknya yaitu menikah. Hanya saja budaya kita yang kolektif masih kesulitan menerima hal ini.