Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Meninjau SKB Tiga Lembaga tentang Pedoman Implementasi UU ITE

25 Juni 2021   21:02 Diperbarui: 25 Juni 2021   21:04 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menkominfo Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo menandatangani SKB tentang pedoman UU ITE. (kompas.com)

Masih segar di ingatan ketika Presiden Joko Widodo meminta masyarakat agar lebih aktif memberikan kritik kepada pemerintah. Presiden kala itu meminta kritik pedas dari masyarakat. Namun, pernyataan tersebut masih menjadi pepesan kosong karena bayang-bayang UU ITE.

Seperti yang diketahui, beberapa pasal dalam UU ITE disebut sebagai pasal karet karena muatannya multitafsir. Akhirnya terjadi budaya baru, yaitu budaya saling lapor. Muaranya jelas karena pasal karet yang ada dalam UU ITE.

Presiden saat itu meminta agar UU ITE direvisi. Bahkan wacana revisi UU ITE ramai diperbincangkan kala itu. Temasuk di kompasiana sendiri menyediakan topik pilihan tentang revsi UU ITE.

Keinginan presiden untuk merevisi UU ITE tentunya disambut baik oleh masyarakat, terutama bagi para aktivis yang kerap kali dibungkam oleh pasal karet dalam UU ITE.

Hal tersebut cukup beralasan, karena indeks demokrasi Indonesia menurun karena masalah satu ini. Bola liar revisi UU ITE terus bergulir. Titah dari presiden justru disikapi beragam oleh para pembantunya.

Kapolri saat itu menerbitkan Surat Edaran tentang etika berbudaya dalam dunia maya. Di dalam surat edaran tersebut, secara garis besar diatur tentang teknis penanganan tentang perkara yang menyangkut UU ITE.

Kominfo sendiri menyikapinya berbeda, menurut Kominfo UU ITE masih diperlukan untuk menjaga ruang digital Indonesia agar tetap bersih. Kominfo kemudian mengusulkan agar pemerintah memberikan tafsir resmi terkait pasal-pasal karet yang ada di UU ITE.

Lain lagi menurut Mahfud MD selaku Menkopolhukam, Mahfud kala itu membentuk tim kajian terkait pasal-pasal karet yang ada dalam UU ITE. Hasilnya akan ada revisi terbatas terkait pasal-pasal karet tersebut.

Akan tetapi, keinginan untuk merevisi UU ITE rupanya harus dikubur kembali. Hal itu karena UU ITE tidak masuk dalam prolegnas prioritas tahun 2021. Dengan tidak masuknya UU ITE dalam prolegnas prioritas tahun 2021 menunjukkan bahwa pernyataan presiden hanya manis di bibir saja.

Puncaknya, untuk mengatasi ini dibuat Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga lembaga terkait teknis UU ITE. SKB ini melibatkan tiga lembaga yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kejaksaan, dan Kepolisian RI.

Penandatangan SKB ini dilakukan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo di Kementeria Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta, Rabu 23 Juni 2021 (kompas.com)

Apresiasi

Penulis mempunyai pandangan tersendiri terkait SKB ini. Setidaknya ada beberapa poin krusial yang selama ini dianggap sebagai muara dari budaya saling lapor melapor. Misalnya dalam Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik.

Yang membuat pasal ini menjadi pasal karet setidaknya menurut hemat penulis ada tiga. Yang pertama tidak ada tafsir resmi terkait apa itu penghinaan atau pencemaran nama baik.

Sehingga tafsir penghinaan atau pencemaran nama baik menjadi melebar dan setiap orang mempunyai tafsir sendiri-sendiri.

Kedua, pencemaran nama baik pada dasarnya merupakan delik aduan. Dalam hal ini, korbanlah yang harus mengadukan sendiri tentang pencemaran nama baik itu. Tidak diwakilkan oleh siapapun. Namun, pada pelaksaannya prinsip ini bergeser menjadi delik biasa.

Bukan hal aneh apabila pasal ini menjadi penuh dengan unsur politis. Ketika junjungannya dikritik tidak sedikit hal itu disebut sebagai penghinaan. Maka, para simpatisan biasanya saling berlomba untuk melapor.

Ketiga, tidak ada pengecualian. Di dalam KUHP tidak termasuk dalam pencemaran nama baik apabila ditujukan untuk kepentingan umum atau melindungi diri sendiri. Di dalam SKB ini, terdapat pedoman teknis untuk menjawab tiga hal di atas.

Di dalam SKB tersebut, terutama untuk pedoman Pasal 27 ayat 3 terdapat beberapa poin untuk menjawab permasalahn di atas. Poin pertama sebagai berikut.

Bukan merupakan delik pidana jika konten penghinaan yang kategorinya berupa cacian, ejekan, dan atau kata-kata tidak pantas, juga jika kontennya berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan.

Dengan adanya pedoman ini, saya kira kasus yang menimpa Jerinx kemarin tidak akan terjadi. Atau kasus seorang konsumen kecantikan yang komplain karena layanan yang dijanjikan tidak memuaskan tidak terjadi.

Kemudian di poin berikutnya dijelaskan sebagai berikut.

Merupakan delik aduan sehingga harus korban sendiri yang melaporkan, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan.

Perihal poin kedua ini sudah kiranya saya jelaskan di atas. Terkadang orang tidak bisa membedakan mana delik biasa dan delik aduan. Kiranya dengan adanya pedoman ini hal tersebut bisa dihindari.

Kemudian yang paling penting adalah poin sebagai berikut:

Jika wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka tetap berlaku UU ITE, kecuali dilakukan oleh institusi Pers maka harus diberlakukan UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pers.

Tidak sedikit di dalam praktiknya, para wartawan yang bertugas memberikan informasi justru berbenturan dengan UU ITE. Jikapun ada, setidaknya masih ada UU lain yang khusus menaungi masalah ini yaitu Dewan Pers.

Selain pasal 27 ayat 3, Pasal 28 juga seringkali memakan korban, hal tersebut karena tidak jelasnya batasan dari ujaran kebencian sejauhmana. Di dalam SKB ini kemudian memberikan pedoman teknisnya.

Penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu/kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan.

Terkadang, di dalam praktiknya kita tidak bisa membedakan mana penyampaian pendapat atau ujaran kebencian. Tidak adanya batasan ujaran kebencian itupun menjadi masalah tersendiri.

Setidaknya, dengan adanya SKB ini mampu memberikan kepastian hukum khususnya untuk pasal karet. Poin-poin di atas menurut saya bisa membantu penegak hukum dalam menangani kasus UU ITE.

Sehingga ke depannya diharapkan kasus-kasus yang memang murni penyampaian pendapat tidak berujung bui kembali. Meskipun pada dasarnya SKB ini tidak membuat pasal UU ITE tidak karet.

Materinya tetap sama, hanya dibuat pedoman teknis saja. Itu artinya muatan tersebut tidak berubah. Untuk merubah itu jelaslah harus dengan jalan revisi

Bersifat sementara

SKB ini tentunya hanya digunakan sebagai transisi selagi revisi secara terbtas UU ITE hendak dilakukan. Itu artinya, SKB ini bersifat sementara.

Selain itu, SKB ini juga tidak menjangkau kasus-kasus yang sudah terjadi sebelum SKB ini terbit. Dengan kata lain, SKB ini tidak berlaku surut.

Meskipun tujuannya untuk mencegah agar penerapan pasal karet tidak terjadi. Namun perlu diingat SKB ini jangan dijadikan alasan untuk tidak merevisi UU ITE.

SKB ini hanya untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat mengingat revisi memerlukan waktu lama. SKB ini setidaknya bisa memberikan jaminan agar kebebasan pendapat tidak lagi dibungkam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun