Kemudian di poin berikutnya dijelaskan sebagai berikut.
Merupakan delik aduan sehingga harus korban sendiri yang melaporkan, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan.
Perihal poin kedua ini sudah kiranya saya jelaskan di atas. Terkadang orang tidak bisa membedakan mana delik biasa dan delik aduan. Kiranya dengan adanya pedoman ini hal tersebut bisa dihindari.
Kemudian yang paling penting adalah poin sebagai berikut:
Jika wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka tetap berlaku UU ITE, kecuali dilakukan oleh institusi Pers maka harus diberlakukan UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pers.
Tidak sedikit di dalam praktiknya, para wartawan yang bertugas memberikan informasi justru berbenturan dengan UU ITE. Jikapun ada, setidaknya masih ada UU lain yang khusus menaungi masalah ini yaitu Dewan Pers.
Selain pasal 27 ayat 3, Pasal 28 juga seringkali memakan korban, hal tersebut karena tidak jelasnya batasan dari ujaran kebencian sejauhmana. Di dalam SKB ini kemudian memberikan pedoman teknisnya.
Penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu/kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan.
Terkadang, di dalam praktiknya kita tidak bisa membedakan mana penyampaian pendapat atau ujaran kebencian. Tidak adanya batasan ujaran kebencian itupun menjadi masalah tersendiri.
Setidaknya, dengan adanya SKB ini mampu memberikan kepastian hukum khususnya untuk pasal karet. Poin-poin di atas menurut saya bisa membantu penegak hukum dalam menangani kasus UU ITE.
Sehingga ke depannya diharapkan kasus-kasus yang memang murni penyampaian pendapat tidak berujung bui kembali. Meskipun pada dasarnya SKB ini tidak membuat pasal UU ITE tidak karet.