Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catcalling, Bentuk Pelecehan Seksual yang Dianggap Sepele

12 Juni 2021   20:40 Diperbarui: 12 Juni 2021   20:49 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang perempuan mendapatkan perlakuan catcalling di tempat kerja. Sumber: via kompas.com

Pagi tadi, saya menyempatkan untuk lari pagi. Lokasi lari pagi saya bukanlah taman seperti di kota. Karena saya orang desa, maka saya memutuskan untuk lari ke daerah dataran tinggi. Lokasi tersebut memang dipilih banyak orang sebagai tempat melepas penat. 

Ketika tengah berlari, tepat di depan saya ada seorang wanita. Dia memakai baju olahraga seperti biasanya. Tiba-tiba di belakang saya datang seorang lelaki. Sungguh di luar dugaan, lelaki tersebut menyentuh dengan jarinya alat vital si perempuan dari belakang. 

Sontak hal tersebut membuat si perempuan marah. Yang membuat saya terkejut adalah, si perempuan tersebut memang marah. Tetapi marah bukan karena perbuatan hina si lelaki. Dia justru marah karena si pemuda tadi "mengagetkannya". 

Ternyata keduanya saling mengenal dan mereka berdua memutuskan berjalan bersama. Ada satu hal lagi yang menarik, ketika hendak pulang.  Ada seorang perempuan sedang berjalan seorang diri dengan pakaian tertutup. 

Si perempuan melewati beberapa orang lelaki, kemudian satu di antara lelaki tersebut ada yang mengatakan. "Eh neng, cantik banget ayo anterin pulangnya", dari raut mukanya saya bisa membaca bahwa hal tersebut membuat si perempuan risih. 

Dari dua kasus di atas, manakah menurut pembaca yang termasuk ke dalam pelecehan seksual? Mari kita bahas lebih lanjut... 

Sekilas tentang pelecehan seksual 

Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebenarnya tidak mengenal istilah pelecehan seksual. KUHP sebagai lex generalis dalam bab kejahatan kesusilaan menyebut dengan istilah perbuatan cabul. 

Lantas apa saja yang termasuk ke dalam perbuatan cabul dalam KUHP? Merujuk Pasal 289 KUHP, ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. 

Jika melihat pada perbuatan tersebut, maka semuanya masuk ke dalam perbuatan fisik alias nonverbal. Lantas bagaimana dengan catcalling, bentuk pelecehan seksual secara verbal? 

Di dalam KUHP sendiri tidak diatur pelecehan seksual secara verbal. Inilah yang membuat budaya catcalling menjadi hal lumrah. Padahal perbuatan tersebut jelas membuat risih seseorang. 

Seperti kasus yang kedua, kasus tersebut masuk ke dalam pelecehan seksual secara verbal. Meskipun dengan dalih pujian, tetap saja hal itu tidak bisa ditoleransi. Sebab, perbuatan catcalling sangat mengganggu korban. 

Sedangkan untuk kasus pertama, bukanlah merupakan pelecehan seksual. Mengapa bisa begitu? Padahal kasus pertama jelas mencerminkan pelecehan karena disertai dengan tindakan, sementara di kasus kedua tidak. 

Lalu bagaimana batas antara pelecehan seksual itu sendiri? Batasan mengapa disebut sebagai pelecehan adalah apabila korban merasa direndahkan, dihina, atau dilecehkan martabatnya sebagai objek pemuas hawa nafsu. 

Dalam kasus pertama, hal itu tidak terjadi. Si perempuan merasa dirinya tidak direndahkan dengan perbuatan si lelaki. Sedangkan dalam kasus kedua, disebut sebagai pelecehan seksual karena korban merasa direndahkan. 

Dengan kata lain, kasus pertama disertai dengan "persetujuan" korban, sehingga tidak masuk dalam kategori pelecehan. Sedangkan dalam kasus kedua, meskipun secara verbal termasuk dalam pelecehan seksual. 

Hal itu karena perbuatan catcalling tadi tanpa persetujuan dari korban. Jadi ukuran pelecehan seksual itu bukan diukur dari "tindakan" ringan atau tidaknya pelecehan itu.

Jika korban merasa tidak senang atau merasa dilecehkan, meskipun perbuatan tersebut terkesan sepele sudah termasuk dalam pelecehan seksual. Kasus pertama tidak termasuk ke dalam pelecehan karena korban seolah-olah menyetujui perbuatan itu. 

Inilah yang kurang disadari oleh sebagian besar masyarakat kita. Pelecehan secara verbal masih dianggap hal wajar. Bahkan disamakan dengan pujian. Padahal catcalling bukan termasuk ke dalam pujian. 

Catcalling tidak hanya berbentuk ajakan atau memuji seperti tadi. Bersiul, memandang seseorang dengan penuh hawa nafsu sudah termasuk ke dalam pelecehan seksual. Sayangnya, sampai sejauh ini belum ditemukan aturan tertulis seperti itu. 

Istilah pelecehan seksual sendiri justru muncul dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Di dalam RUU tersebut, pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk dari sembilan kekerasan seksual. 

Di dalam RUU itu juga, pelecehan seksual dibagi menjadi dua. Yaitu pelecehan secara fisik, seperti meraba-raba alat vital, memeluk, mencium, dan sebagainya. Bagian kedua adalah secara verbal alias catcalling tadi. 

Ukuran catcalling dalam RUU itu tidak disebut, dalam RUU menyebutkan pelecehan terjadi apabila tanpa persetujuan korban. Meskipun susah masuk ke dalam perbuatan fisik, apabila perbuatan itu disetujui korban bukan termasuk ke dalam pelecehan. 

Ditambah lagi, korban pelecehan seksual seperti dibungkam melalui victim blaming. Korban pelecehan alih-alih mendapatkan pembelaan, justru harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dia terima. 

Perkataan miring seringkali disematkan pada korban. Seperti penampilan yang terlalu mencolok, mengundang berahi seseorang dan sebagainya. Hal itu terjadi karena budaya patriarki masih belum hilang.

Laki-laki terkesan lebih superior daripada perempuan. Hal itulah yang membuat korban pelecehan enggan melapor dan memilih untuk bungkam. Pelarian mereka adalah media sosial. 

Baca juga: Mengapa Korban Pelecehan Seksual Lebih Memilih Melapor di Medsos?

Media sosial menjadi tempat ideal korban pelecehan seksual untuk bersuara. Kasus Gofar Hilman kemarin merupakan contoh yang nyata. Ditambah lagi, kurangnya perlindungan terhadap korban membuat mereka enggan melapor. 

KUHAP sejauh ini hanya mengakomodasi kepentingan hak tersangka. Sedangkan hak korban belum diatur di dalamnya. Harapan itu muncul di dalam RUU PKS. RUU PKS bagi saya merupakan aturan yang berpihak pada korban pelecehan. 

Selain memasukan istilah pelecehan seksual, dan memasukan kategori pelecehan secara verbal. RUU ini juga mengakomodasi hak korban. Hak pemulihan korban pelecehan. Hak yang selama ini sulit didapat. 

Dengan masuknya kembali RUU PKS dalam prolegnas prioritas 2021, diharapkan bisa menjadi alat untuk mencegah agar budaya catcalling dan victim blaming hilang. Semoga saja pembahasan RUU ini tidak mandek seperti sebelumnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun