Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Bawah Pohon Sukun, Lahir Pemikiran Besar Bernama Pancasila

1 Juni 2021   06:48 Diperbarui: 1 Juni 2021   07:00 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soekarno tengah berpidato terkait konsep dasar negara Indonesia dalam sidang BPUPKI. Sumber foto: jambi.tirbunnews.com

Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno membacakan pemikirannya dalam sidang BPUKI pertama mengenai konsep dasar negara. Pemikiran tersebut kemudian diterima dan menjadi dasar negara Indonesia yang bernama Pancasila. 

Tanggal 1 Juni kemudian diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Pancasila merupakan hasil pemikiran adiluhung Bung Karno dalam memikirkan konsep dasar negara Indonesia. Namun pernahkah kita berpikir, dari mana konsep pemikiran tersebut hadir?

Beberapa tokoh menemukan pemikirannya bukan di lab atau tempat penelitian. Akan tetapi, ide awal itu terkadang datang di tempat yang tidak terduga, salah satunya di bawah pohon. Ilham yang datang di bawah pohon justru mengantarkan seseorang menjadi terkenal. 

Di bawah pohon apel fisikawan besar bernama Issac Newton menemukan satu teori besar. Teori yang membawanya menjadi fisikawan besar dan dikenal sampai sekarang, teori tersebut bernama gravitasi. 

Dikisahkan ketika di bawah pohon, buah apel jatuh tepat di hadapan Newton. Sebagai seorang ilmuwan besar, tentunya hal tersebut bukan sesuatu yang biasa, ada sebab musababnya. Maka dari situlah ide awal gravitasi itu muncul.

Begitupun dengan Bung Karno. Bung Karno mendapatkan ilham pancasila di bawah pohon sukun ketika masa pengasingan di pulau Flores. Hal itu dikisahkan dalam buku yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams.

Bagi tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, tentunya tempat pengasingan menjadi hal yang lumrah. Begitupun dengan Bung Karno, penjara atau diasingkan ke luar pulau sudah menjadi risiko yang harus ditanggung ketika memperjuangkan kemerdekaan.

Bung Karno bahkan sudah menyiapkan konsep dasar negara sejak masih dipenjara di Banceuy. Kurang lebih hampir 16 tahun Bung Karno menggali pemikiran tersebut. Bung Karno menyatakan bahwa dasar negara Indonesia tidak bisa mendasarkan pada bangsa lain. 

Misalnya seperti Deklarasi Kemerdekaan Amerika atau Manifesto Komunis. Pada intinya, konsep dasar negara bangsa Indonesia tidak bisa disamakan dengan konsep bangsa lain. Indonesia mempunyai konsep sendiri yang menjadi ciri khas. 

Lebih jauh di dalam buku biografi dijelaskan, ketika di pulau Flores yang sepi dan tidak punya kawan, Bung Karno sering merenung di bawah pohon sukun depan rumahnya. Perenungan di bawah pohon itulah yang memberikan ilham kepada Bung Karno mengenai Pancasila. 

Bung Karno tidak menemukan Pancasila, akan tetapi menggali jauh ke dalam tradisi bangsa Indonesia dan Bung Karno menemukan lima butir mutiara atau lima sila di dalamnya.

Lima dasar tersebut adalah kebangsaan, internasionalisme atau perikemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, dan ketuhanan Yang Maha Esa. 

Butir pertama yaitu kebangsaan, setiap orang tidak dapat dipisahkan dari tanah yang ia pijak. Rakyat tidak akan lepas dari wilayah yang ia huni. Untuk itu, perlu kiranya menumbuhkan sikap cinta tanah air atau nasionalisme.

Butir kedua kemudian dijelaskan Indonesia adalah bagian kecil dari dunia ini. Nasionalisme tidak dapat hidup subur jika tidak dalam tamannya yaitu internasionalisme atau perikemanusiaan. 

Ingatlah kata-kata Gandhi, saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan. (Bung Karno Penyampung Lidah Rakyat, hlm 240)

Butir ketiga adalah demokrasi. Bangsa Indonesia mempunyai satu ciri khas atau kebiasaan asli yaitu musyawarah dan mufakat. Bung Karno menyebutkan negara Indonesia nantinya bukan menjadi negara untuk satu golongan, tetapi untuk semua. 

Sebagai seorang yang meyakini kekuatan pemerintahan terletak atas dasar perwakilan. Jika orang yang berpaham islamisme silakan berjuang semaksimal mungkin untuk bisa menjadi perwakilan di pemerintahan dan menyuarakan aspirasinya di parlemen. 

Begitupun dengan orang yang beragama kristen, jika ingin kebijakan bangsa Indonesia dijiwai injil, bekerja keraslah agar mendapatkan posisi di parlemen dan menyerukan itu sebagai utusan orang-orang kristen.  

Butir keempat adalah keadilan sosial. Keadilan sosial ini tidak hanya sebatas persamaan politik atau hak. Tetapi lebih jauh lagi, yaitu persamaan ekonomi. Mungkin saja saat ini persamaan politik sudah dicapai, akan tetapi dari segi ekonomi tidak. 

Masih terdapat kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Maka, tugas pemerintah sekarang tidak hanya mengurusi persamaan hak politik, tetapi persamaan hak dalam segi ekonomi. Yaitu kesejahteraan agar setiap masyarakat hidup dengan makmur. 

Butir terakhir adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Mungkin Pancasila merupakan satu-satunya ideologi dan dasar negara yang menyematkan asas ketuhanan di dalamnya. 

Ketuhanan di sini tidak terbatas pada satu agama saja. Akan tetapi, biarkan setiap orang bertuhan dengan Tuhannya masing-masing. Hendaknya setiap orang menjalankan ibadah sesuai agama yang diyakininya. 

Kita tidak bisa memaksakan kehendak agar setiap orang mengikuti keyakinan yang kita yakini. Beberapa permasalahan dalam butir ini adalah munculnya intoleransi yang bisa kita saksikan saat ini. 

Bahkan dari intoleransi ini, kemudian lahir satu pandangan ekstrem yaitu terorisme. Bibit dari paham ini selain dari sesat berpikir adalah intoleransi. 

Bung Karno sendiri menyukai simbol. Rukun islam ada lima, jari setangan ada lima, manusia mempunyai lima indera, pandawa juga lima. Asas-asas atau konsep dasar negara Indonesia lima juga. 

Jika diperas lima asas itu menjadi satu, maka dapatlah dikatakan Indonesia tulen, yaitu gotong royong. Inilah ciri khas bangsa Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. 

Akan tetapi, semangat gotong royong perlahan mulai memudar. Terutama di perkotaan yang sudah terjangkit penyakit individualisme. Berbeda halnya dengan di pedesaan yang masih kental dengan sifat ini. 

Itulah sifat asli bangsa Indonesia yang tulen tadi. Yaitu gotong royong. Kita seharusnya mempertahankan sikap itu. Pancasila bukan hanya sekedar hafalan, pancasila adalah cara pandang hidup bangsa Indonesia. 

Oleh sebab itu, kita seharusnya sudah bisa mengamalkan setiap butir pancasila ke dalam kehidupan sehari-hari. Itulah pancasilais sejati, pancasila yang bukan manis di mulut. 

Sama halnya seperti keimanan, keimanan tidak hanya diyakini di mulut atau lisan. Akan tetapi, keimanan tersebut harus dibarengi dengan perbuatan. Itulah yang disebut dengan keimanan hakiki. Meyakini sepenuh hati dan melaksanakannya.

Pancasila adalah cara pedoman hidup bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, pancasila sudah sepatutnya menjadi pedoman dalam menjalankan kehidupan. Sudah saatnya butir-butir pancasila kita terapkan ke dalam kehidupan, bukan hanya sekadar hapalan atau dibaca ulang saat upacara bendera. 

Baca artikel lainnya: Menghilangnya Mata Kuliah Wajib Pendidikan Pancasila 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun