Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Hardiknas 2021, Saatnya Bicara Riset dan Teknologi Bukan (Lagi) Ideologi

2 Mei 2021   19:51 Diperbarui: 7 Mei 2021   16:16 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang ilmuwan tengah mengembangkan vaksin. (SHUTTERSTOCK/Blue Planet Studio) via Kompas.com

Mei merupakan bulan spesial. Dua hari besar jatuh berdekatan, tanggal 1 Mei merupakan Hari Buruh Internasional, peringatan ini tentunya disambut di berbagai negara.

Tanggal 2 Mei merupakan hari besar bagi bangsa Indonesia, yaitu Hari Pendidikan Nasional atau yang lebih dikenal Hardiknas. Tema Hardiknas kali adalah merdeka belajar. 

Pendidikan merupakan salah satu elemen penting dalam memajukan bangsa. Bangsa yang maju, bisa dilihat sejauh mana kualitas sistem pendidikannya.

Jika sistem pendidikan tersebut berkompeten dan mempunyai daya saing dengan negara lain, maka akan menghasilkan sumber daya manusia yang unggul.

Sumber daya manusia unggul inilah yang akan membawa pada kemajuan bangsa. Oleh karenanya, pendidikan merupakan investasi jangka panjang, tidak hanya untuk individu akan tetapi untuk negara itu sendiri.

Sumber daya manusia unggul lahir dari sistem pendidikan yang unggul, jika sudah begitu, pemerintah tinggal memanen dari hasil investasi jangka panjang tadi.

Hasil dari investasi jangka panjang tadi adalah lahirnya inovasi yang siap bersaing dengan negara lain. Salah satu yang menentukan daya saing adalah kualitas tingkat inovasi yang diciptakan melalui riset. 

Beberapa terobosan pemikiran di bidang teknologi maupun sains menjadi ukuran kemajuan suatu bangsa. Oleh karenanya, sangat penting untuk membudayakan riset yang berbasiskan teknologi.

Budaya riset di Indonesia

Perkembangan riset di Indonesia masih berjalan lamban dan jauh tertinggal dari negara-negara lain. Padahal Indonesia mempunayi potensi yang besar, bahkan Indonesia masih disebut sebagai raksasa yang sedang tertidur.

Yang perlu kita lakukan sekarang adalah bagaimana membangunkan raksasa tersebut, alias menumbuhkan budaya riset itu sendiri.

Bukan rahasia lagi, riset dan inovasi merupakan salah satu kunci pertumbuhan ekonomi. Dihimpun dari kumparan, rilis Global Inovation Index (GII) pada 2020, Indonesia berada di urutan ke-85 dari 131 negara paling inovatif di dunia.

Peringkat tersebut jelas begitu rendah. Bahkan di ASEAN sendiri Indonesia menempati urutan terendah kedua di atas Kamboja. Sungguh memilukan. 

Padahal pengetahuan dan teknologi (iptek) terus berkembang dan tidak bisa dibendung. Mau tidak mau kita harus mengikuti perkembangan tersebut, jika tidak maka akan digilas oleh zaman.

Di negara-negara maju iptek merupakan tulang punggung bagi kemajuan bangsa, jangan mengambil contoh terlalu jauh seperti Amerika atau Jepang. Negara tetangga kita Singapura sudah menerapkan ini.

Iptek bisa tumbuh dengan subur terutama dalam lingkungan akademis. Hubungan yang harmonis antara berbagai institusi terkait telah menumbuhkan tradisi ilmiah. Tradisi tersebut menjadi budaya dan terus berkembang.

Tradisi ilmiah tersebut diharapkan bisa tumbuh di masyarakat kita. Akan tetapi, untuk menumbuhkan tradisi ilmiah dan budaya riset di Indonesia masih terkendala dengan beberapa masalah yang harus dibenahi. 

Biaya riset yang mahal menjadi salah satu faktor mengapa budaya riset sulit berkembang di Indonesia. Beberapa riset membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Masih menurut GII, dana riset yang digelontorkan pemerintah Indonesia untuk riset sebesar 0,25 persen dari PDB. Hal itu masih jauh dibandingkan dengan negara lain.

Di beberapa negara lain, riset justru didanai oleh swasta. Kondisi ini terbalik, di Indonesia penyumbang terbesar dana riset masih negara. Sebut saja di Amerika sana, orang terkaya di Amerika berlomba-lomba membiayai riset untuk perkembangan iptek, sekalipun riset tersebut ingin meredupkan cahaya matahari.

Masalah lain yang harus dibenahi adalah kita masih berkutat dengan ideologi. Permasalahan ideologi seharusnya sudah tuntas. Kita masih saja disibukan dengan isu bangkitnya ideologi bapak-bapak berjenggot tebal yang sebenarnya sudah tidak laku.

Kita masih saja berkutat dengan intoleransi dan perang melawan radikalisme. Bukan maksud menganggap remeh hal ini, tetapi untuk masalah intoleransi seharusnya sudah selesai sejak negara ini merdeka.

Negara lain sudah memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup di planet lain dan membuat oksigen di sana, bahkan sudah beranjak pada rekayasa genetika dan menciptakan kecerdasan buatan.

Kita Masih sangat jauh dengan mereka, kita masih saja sibuk dengan urusan seragam sekolah. Urusan seragam sekolah sekalipun mesti menteri dan pemerintah daerah yang turun tangan.

Seharusnya permasalahan seperti itu sudah selesai, kita harus melaju kepada permasalahan lain untuk menjawab tuntutan zaman. Permasalahan yang bisa menjawab tantangan global, terutama di era industri dan digital. 

Pemikiran dan budaya kolot tersebut bukan menjadi persoalan di bidang pendidkan masa kini, masalah itu seharusnya sudah selesai sejak dahulu. 

Jadi tugas menteri bukan mengurusi soal seragam sekolah, hal-hal yang menjadi urusan seperti itu tidak etis jika menteri turun tangan langsung. Hadirnya pendidikan justru menyelesaikan itu semua bahkan intoleransi sekalipun. 

Kita masih saja disibukan dengan persoalan mengucapkan selamat kepada perayaan umat agama lain. Kita masih saja sibuk dengan halal atau haram, lebih jauh kafir non kafir. Bahkan tidak sedikit masyarakat kita masih percaya hal berbau tahayul. Ini bukan sesuatu yang spiritual, itu satu hal lain.

Contoh nyata adalah kasus babi ngepet kemarin, bagaimana bisa masyarakat yang notabene hidup di perkotaan percaya dengan sesuatu yang di luar ilmiah. Dan belakangan diketahui hal itu adalah rekaan semata.

Bagaimana bisa budaya riset atau budaya ilimiah itu bisa timbul jika kita masih berkutat dengan permasalahan yang seharusnya sudah tuntas sejak dahulu. Untuk menciptakan masyarakat ilmiah tentunya harus dibekali SDM yang unggul dan SDM uggul didapat dari sistem pendidikan yang mumpuni.

Nasib riset di bawah Kemendikbudristek

Beberapa hari lalu, pemerintah merombak kabinetnya. Perombakan kecil ini lantaran adanya perubahan nomenklatur di tubuh kementerian. Pemerintah sudah secara resmi membentuk kementerian baru yaitu Kementerian Investasi.

Oleh karena adanya kementerian baru tersebut melebihi batas maksimal jumlah kementerian yang ditetapkan oleh undang-undang. Maka untuk menyiasatinya adalah mengorbankan satu kementerian dan meleburnya dengan kementerian lain.

Kementerian yang dilebur tersebut adalah Kementerian Riset dan Teknologi dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan memang tidak bisa dipisahkan dengan riset, karena pendidikan tanpa riset seperti pohon yang tidak berbuah.

Riset selama ini ada di tingkat perguruan tinggi, perguruan tinggi sendiri berada di bawah Kemendikbud. Akan tetapi, karena terlalu banyak persoalan yang harus dibenahi oleh kemendikbud, pendidikan tinggi dilebur pada Kemenristek. 

Akan tetapi, setelah periode kedua Presiden Joko Widodo, pendidikan tinggi dikembalikan pada Kemendikbud, dan untuk riset multak berada di bawah Kemenristek. Sayangnya, saat ini Kemenristek justru ditarik ke dalam Kemendikbud. Akhirnya Kemendikbud menjadi gemuk. 

Bagaimana nasib riset di bawah Kemendikbud? Seperti yang sudah dijelaskan, sejauh ini kemendikbud masih bekerja keras untuk memperbaiki sistem pendidikan Indonesia yang masih belum stabil. Kemendikbud disibukan dengan kebijkan perbaikan di bidang pendidikan.

Dihimpun dari kompas.com, data Program for International Student Assessment (2018) yang diinisiasi oleh The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia di lingkup global berada dalam peringkat 6 terbawah dari 79 negara.

Data tersebut tentunya menjadi PR besar bagi Kemendikbud. Beberapa pakar di bidang pendidikan juga menambahkan kompetisi dan kesejahteraan  guru juga harus ditingkatkan untuk mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia. 

Selain itu, metode pengajaran yang terkenal kaku juga menjadi persoalan yang harus diperbaiki. Metode belajar satu arah tentu harus dirubah dengan mendepankan belajar dua arah. 

Apalagi di masa pandemi seperti ini, Kemendikbud dituntut untuk membuat kebijakan yang efektif. Ditambah lagi urusan tentang kebudayaan, itu masih menjadi dapur yang harus dibenahi oleh Kemendikbud.

Nasib riset bisa saja tidak terjangkau dengan baik. Toh nama "riset dan teknologi" ditaruh di belakang nama "kebudayaan". Seperti yang sudah dikemukakan di atas, sejauh ini dunia riset berada  di perguruan tinggi.

Lebih ideal jika untuk bidang ini dilebur dengan Kemenristekdikti seperti dulu. Hal ini sudah sejalan dengan undang-undang pendidikan tinggi, dan relevan dengan Kemenristek yang memang membawahi penelitian.

Peleburan Kemenristek dengan Kemendikbud hanya akan membuat dunia riset tenggelam. Hal tersebut karena masih banyak PR yang harus diselesaikan oleh Kemendikbud dalam perbaikan sistem pendidikan.

Di sini juga kita bisa melihat politik hukum mengapa kebijakan ini dibuat oleh pemerintah. Dengan mengorbankan Kemenristek dan memberi karpet merah pada Kementerian Investasi, seakan-akan pemerintah lebih memilih dunia investasi dibandingkan dunia riset dan teknologi.

Di sisi lain investasi memang terus didorong oleh pemerintah. Bahkan undang-undang sapu jagat alias omnibus law yang dibuat dalam waktu kurang satu tahun disebut-sebut bisa mendatangkan investor.

Itu artinya, pemerintah memang lebih fokus menangani dunia ivestasi daripada dunia riset. Pemerintah ingin membuat Indonesia ramah terhadap investor, terutama di bidang regulasi dan perijinan yang dikenal ruwet. 

Bukan rahasia lagi jika investasi bisa memberi pendapatan terhadap kas negara. Tetapi kita juga harus bisa mengembangkan potensi lain terutama sekali bidang riset dan teknologi.  

Semoga saja apa yang tidak diharapkan tidak terjadi, budaya riset dan budaya ilmiah bisa berkembang di Indonesia. Peramsalahan-permasalahan riset yang disebutkan di atas hanya opini pribadi, bisa saja permasalahan riset tersebut jauh lebih luas. Dan semoga saja permasalahan itu bisa diselesikan dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun