Argumen penolakan berkali-kali oleh Mahkamah Konstitusi terkait UU ITE tidak bisa dijadikan acuan bahwa suatu undang-undang perlu direvisi atau tidak. Terkadang putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa suatu pasal dalam undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tidak serta merta oleh DPR ditindaklanjuti dengan merevisi pasal-pasal terkait.
Pasal-pasal yang dinyatakan bertentangan oleh Mahkamah Konstitusi yang mana sejatinya DPR mempunyai kewajiban moral untuk merevisi pasal-pasal tersebut kadang tidak dilakukan. Logika yang sama juga bisa digunakan pada pasal-pasal yang ditolak oleh Mahkamah Kostitusi dalam judicial review. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak bisa dijadikan sebagai acuan apakah suatu undang-undang perlu direvisi atau tidak.
Lain lagi respon dari Kementerian Koordinator Politik Hukum dan HAM, Kemenkopolhukam membuat tim ahli untuk mengkaji pasal-pasal karet yang ada dalam UU ITE ini. Berbeda dari dua kementerian tersebut, respon yang dikeluarkan oleh Kapolri adalah mengeluarkan Surat Edaran tentang Beretika di Ruang Digitial.
SE tersebut memang dinilai bisa efektif dalam menangani kasus-kasus UU ITE karena menggunakan pendekatan restorative justice.
Tetapi alangkah lebih baik jika hal tersebut diterapkan dalam undang-undang yang mana dari segi hierarkies jauh lebih kuat dibandingkan dengan Surat Edaran.
Jika hal tersebut sudah diterapkan dalam undang-undang, maka ada kewajiban yang menyertainya, tidak hanya kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum, karena penegak hukum sejatinya menjalankan hukum itu sebagaimana mestinya. Artinya SE Kapolri tersebut sifatnya sementara.
Adanya respon yang berbeda dari para pembantu presiden membuat UU ITE tidak masuk ke dalam prolegnas priotiras tahun 2021, hal tersebut bisa membuat stigma bahwa kebijakan-kebijakan tersebut justru hanya mengulur waktu agar UU ITE tidak direvisi, padahal jelas perintah Presiden adalah revisi.
Namun sayangnya perintah tersebut ditangkap berbeda-beda oleh para pembantunya. Seperti sedang bermain-main bola guna mengulur-ulur waktu, begitu kiranya.
Padalah upaya revisi UU ITE bisa dijadikan momen untuk memperbaiki indeks demokrasi Indonesia yang menurun, adanya UU ITE justru menjadikan masyarakat enggan untuk mengkritik pemerintah, padahal pemerintah sendiri meminta agar warganya untuk lebih giat mengkritik.
Adanya bayang-bayang ancaman pidana dalam UU ITE membuat kritik itu tidak berjalan, padahal kritik itu instrumen yang penting dalam negara demokrasi. Kritik bisa menjadi vitamin bagi pemerintah agar pemerintahan berjalan dengan sehat. Jika tubuh kekurangan banyak vitamin, maka berbagai penyakit bisa muncul, begitu juga dengan pemerintahan. Potensi abuse of power bisa saja terjadi.
Padahal pemerintah saat ini seperti tanpa oposisi, oposisi dan pemerintah tidak seimbang. Tentunya  kritik perlu dilakukan. Logika yang sama juga bisa dipakai dalam revisi UU ITE, karena pendukung pemerintah di parlemen gemuk, maka sejatinya revisi UU ITE bisa berjalan mulus, tetapi nyatanya tidak demikian.
Nyatanya dominan atau tidaknya oposisi maupun pendukung pemerintah tidak serta merta membuat suatu revisi undang-undang bisa berjalan dengan mulus. Artinya ada variabel lain, bisa saja kepentingan atau bahkan politik. Terkadang variabel politik justru menjadi dominan, hal itu semakin memperkuat bahwa hukum itu merupakan produk politik. Kuat atau tidaknya kekuatan politik akan memuluskan suatu kebijakan atau rancangan undang-undang.
Maka jika variabel poltik lebih dominan dalam pembentukan suatu perundang-undangan, tentunya bertentangan dengan supremasi hukum. Seharusnya negara yang menganut supremasi hukum politik merupakan variabel yang terpengaruh oleh hukum, bukan sebaliknya