Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Narasi Pemerintah Mencabut Perpres Legalisasi Investasi Miras

5 Maret 2021   01:52 Diperbarui: 5 Maret 2021   02:03 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum ada Peraturan Presiden (Perpres) tentang legalitas produksi miras, terlebih dahulu hadir RUU Larangan Minuman Beralkohol. Seperti biasa RUU tersebut menjadi sorotan dan manuai pro kontra di masyarakat. 

Narasi yang dibangun oleh para penolak RUU ini ada yang menggunakan narasi ekonomi dan ada juga yang menggunakan narasi individualisme.

Orang yang menggunakan narasi ekonomi beranggapan bahwa RUU ini berdampak pada para pengrajin minuman beralkohol, mengingat dalam RUU ini melarang setiap orang untuk memproduksi jenis minol baik itu tradisional maupun bukan, meskipun ada pengecualian untuk itu, tetap saja bisa merugikan para pengrajin, khususnya para pengrajin tradisional.

Di wiliyah-wilayah tertentu, minol atau miras menjadi ciri khas tersendiri dan menjadi daya jual dalam pariwisata, sebut saja cap tikus.  Jika RUU ini terbit maka sektor itu akan terkena imbasnya. 

Lain lagi yang menggunakan narasi individualisme, orang yang menolak dengan narasi ini beranggapan bahwa pemerintah hendaknya tidak perlu ikut campur dalam urusan pribadi warganya.

Di dalam RUU itu peminum atau orang yang mengonsumsi dapat dipidana, orang yang menolak dengan narasi ini beranggapan urusan benar salah atau dosa itu urusan individu, negara tidak perlu ikut campur terlalu jauh begitu kiranya. Sama hal nya dengan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

Di dalam Perpres tersebut terdapat materi muatan yang mengatur persoalan penanaman modal di bidang usaha industri minuman keras (miras) mengandung alkohol dan anggur. Perpres tersebut tetap menuai pro dan kontra meskipun Perpres tersebut menjadi jawaban dari RUU Larangan Minuman Beralkohol.

Tetapi narasi yang digunakan untuk menolak Perpres ini adalah narasi agama. Hal tesebut bisa dilihat dari poster-poster penolakan yang mencantumkan ayat Al-Qur'an, bahkan di WA Grup saya bertebaran poster demikian. 

Bagi saya jika ingin menolak legalisasi miras ini jangan menggunakan narasi agama, apalagi sampai mencantumkan ayat Al-Qur'an. Hal tersebut bisa menimbulkan stigma dominasi mayoritas terhadap minoritas.

Apalagi setelah keputusan Presiden Joko Widodo mencabut Perpres yang dikeluarkannya tersebut dengan mempertimbangan masukan dari beberapa tokoh ormas agama seperti NU, MUI, dan Muhammadiyah. 

Saya tidak tahu apakah ormas di luar agama islam memberikan masukan atau tidak, jika tidak, maka narasi untuk mencabut Perpres tersebut dengan mempertimbangkan masukan dari tokoh agama mayoritas menjadi tidak pas.

Stigmatisasi mayoritas lebih dominan terhadap minoritas bisa saja muncul. Padahal Perpres itu sendiri hanya mengatur empat wilayah saja seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, dan Papua.  

Tentunya budaya dan kebiasaan di wilayah tersebut berbeda dengan wilayah lain di Indonesia yang mayoritas muslim. Maka mencabut Perpres ini dengan narasi agama adalah tidak tepat.

Setidaknya pemerintah harus menggunakan narasi lain dalam mencabut Perpres tersebut. Jika narasi yang digunakan bertentangan dengan nilai-nilai luhur, bukankah ke empat wilayah tersebut yang dalam tradisi adat, miras justru mempunyai peran penting, apakah termasuk pula nilai-nilai luhur yang terdapat dalam masyarakat Indonesia?

Lantas acuan nilai luhur mana yang dipakai? Ada juga yang menolak dengan Pasal 29 UUD 1945 tentang Agama. Ukuran agama mana yang dipakai? Jangan sampai yang menjadi ukuran adalah mayoritas.

Saya pribadi mempunyai pandangan tersendiri tentang legalisasi miras ini. Bagi saya keputusan Presiden dalam melegalkan produksi miras sudah baik. Hal ini pemerintah memperhitungkan beragamnya nila, budaya, dan agama yang ada di Indonesia, sehingga empat wilayah tersebutlah yang dipilih, karena budaya dan kebiasaan di empat wilayah tersebut mendukung.

Tetapi yang perlu diperhatikan kembali adalah pengawasan peredaran miras yang diproduksi ke empat wilayah tersebut. Jelas pasar dari miras ini adalah luar negeri, untuk diekspor, mengingat kualitas miras tradisional kita mempunyai daya saing. Tetapi apakah pemerintah bisa menjamin itu?

Bisakah pemerintah memberikan jaminan agar peredaran miras itu benar-benar untuk ekspor. Saya kira sulit. Pemerintah akan sulit mengontrol hal tersebut. Maka yang harus diperbaiki jika ingin legalisasi produksi miras pemerintah harus bisa membenahi sektor tersebut. Pasalnya kita tidak boleh menutup mata, anak-anak yang belum sepantasnya minum  ada yang sudah mencicipi apa itu miras.

Itu menandakan lemahnya pengawasan dan kontrol dari pemerintah itu sendiri. Seharusnya ada regulasi mengenai pembatasan umur. Itu dalam kondisi produksi miras tertutup, apalagi terbuka. 

Saya kira membenahi sektor ini menjadi penting. Di daerah saya banyak yang merantau ke daerah lain, candaan sering kali datang ketika sang perantau hendak pulang. Bawa oleh-oleh miras asal sana. 

Ketika miras tersebut dibawa ke tempat yang tidak sesuai dengan budaya minumnya, maka yang terjadi adalah minum sampai muntah-muntah, mabuk, dan akhirnya meresahkan masyarakat. Artinya masih ada sektor lain yang perlu diperbaiki jika ingin melegalkan produksi miras yaitu kesadaran budaya.

Budaya minum di tempat saya dan di tempat yang memang mendukung untuk itu mungkin berbeda. Budaya minum di tempat saya yang justru mayoritas muslim adalah minum sampai muntah lalu meresahkan masyarkat. 

Mungkin menolak mengkonsumsi dengan ayat Al-Qur'an bisa diterapkan di sini, karena budaya dan agama memang tidak sejalan.

Jadi menurut pandangan saya pribadi  adalah demikian. Jika pemerinah ingin melegalkan produksi miras, maka aspek pengawasan dan kontrol perlu ditingkatkan, adanya anak yang belum pantas minum minol menunjukan lemahnya sektor tersebut. Selain pengawasan kesadaran masyarakat dan budaya minum itu sendiri belum mencapai taraf yang semestinya. 

Jika kesadaran akan budaya minum kita sudah berubah saya kira sah-sah saja jika ingin melegalkan produksi miras ini. Perihal minum, bagi saya itu kembali lagi kepada pribadi masing-masing.

Dari segi ekonomi tentunya akan mendapatkan pendapatan yang besar, tetapi sekali lagi aspek-aspek di atas harus dibenahi terlebih dahulu. Jika suatu saat nanti pemerintah berniat melegalkan produksi miras. Jika itu sudah diperbaiki, dan kesadaran budaya minum miras meningkat, maka bukan tidak mungkin legalisasi produksi miras bisa dipakai.

Jadi itulah narasi yang saya bangun dalam persoalan miras ini. Bukan maksud saya ingin memisahkan diri dari agama, tidak demikian. Saya orang yang beragama, dan bukti saya orang beragama adalah saya tidak mengkonsumsi miras, karena saya tahu dalam agama saya hal tersebut adalah perbuatan salah. Perbuatan yang merugikan diri sendiri. 

Saya hanya tidak ingin membangun narasi dari segi agama, karena itu bisa menimbulkan stigmatisasi terhadap agama yang saya anut sendiri. Saya hanya ingin menjauhkan pikiran saya dari yang namanya mayoritas dan minoritas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun