Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Menyikapi Surat Edaran Kapolri tentang Beretika di Ruang Digital

24 Februari 2021   21:16 Diperbarui: 25 Februari 2021   18:09 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi UU ITE (Foto: Kompas.com/Wahyunanda Kusuma)

Polemik terkait UU ITE masih menjadi perbincangan hangat, beberapa kalangan mengapresiasi rencana pemerintah akan merevisi pasal-pasal karet yang ada di dalam UU ITE. Pasal-pasal tersebut dinilai merugikan setiap individu yang mengkritik pemerintah, dan dinilai sebagai pasal yang membungkam kebebasan berpendapat.

Akibat keberadaan pasal-pasal karet yang ada di dalam UU ITE, The Economic Intellegent Unit (EIU) mencatat Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam indeks demokrasi dengan skor 6,3. Meskipun tidak ada penurunan perigkat dibanding tahun lalu, namun skor tersebut menurun dari yang sebelumnya yaitu 6,48.

Selain faktor covid-19, penurunan indeks demokrasi tersebut tentunya tidak dapat dipisahkan dengan kasus-kasus pelanggaran UU ITE khususnya dalam kebebasan berpendapat. Untuk itu beberapa langkah dilakukan oleh pemerintah selain wacana revisi UU ITE, penegak hukum khususnya kepolisian harus lebih bijak dalam menerima laporan terkait peanggaran UU ITE.

Kapolri beberapa waktu lalu mengeluarkan instruksi kepada jajarannya agar lebih selektif dalam menanganai kasus pelanggaran UU ITE. Selain itu, Kapolri juga menginginkan korban yang melapor sendiri dalam pelanggaran UU ITE, tidak bisa diwakilkan. Hal tesebut ditujukan agar UU ITE tersebut tidak digunakan sebagai alat saling lapor.

Untuk menindaklanjuti instruksi tersebut, Kapolri mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika Untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, sehat, dan Produktif. SE tersebut diteken oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 19 Februari 2021.

Apresiasi
Tentunya kita harus mengapresiasi langkah yang dikeluarkan oleh Kapolri tersebut. Surat Edaran tersebut menjadi bukti bahwa pemerintah melalui kepolisian berkomitmen untuk memperbaiki kondisi demokrasi di Indonesia yang mengalami penurunan. Setidaknya ada 11 poin yang diatur dalam SE tersebut.

Ada beberapa poin yang harus kita apresiasi, setidaknya menurut hemat penulis yang pertama adalah poin d yang berbunyi " dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan penecemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah-langkah yang akan diambil".

Selanjutnya poin e yang berbunyi "sejak penerimaan laporan, penyidik diminta berkomunikasi dengan pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi"

Kemudian poin g yang berbunyi "penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara"

Terakhir adalah poin i yang berbunyi "korban yang ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangka telah meminta maaf, maka terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali"

Empat poin di atas merupakan pangkal dari pasal karet yang selama ini terjadi. Pertama Polri selama ini tidak selektif dalam menerima laporan dari masyarakat dan tidak bisa membedakan mana kritik, masukan, pencemaran nama baik maupun ujaran kebencian. Sudah menjadi kewenangan kepolisian untuk menerima pengaduan dari masyarakat, namun untuk kasus-kasus UU ITE tentunya harus lebih selektif kembali.

Selain itu, faktor lainnya adalah pihak yang mengadu. Seperti yang diketahui, pasal-pasal karet seperti Pasal 27, 28, dan 29 telah memakan banyak korban. Hal ini karena setiap orang dengan bebas melaporkan seseorang yang dianggap menyebarkan ujaran kebencian atau melakukan penghinaan.

Khusus untuk penghinaan dan pencemaran nama baik, tentunya kita harus mengacu pada Pasal 310 KUHP. Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam KUHP merupakan delik aduan, artinya korban lah yang seharusnya melaporkan sendiri, tidak diwakilkan. Perlu digarisbawahi kembali, penghinaan itu tidak bisa ditafsirkan sendiri-sendiri, termasuk oleh kepolisian.

Penghinaan merupakan subjektif dari korban, jika korban merasa dihina, maka penghinaan itu terjadi, tetapi jika tidak merasa demikian, maka sesungguhnya penghinaan itu tidak terjadi. Dua pangkal masalah inilah yang menjadikan ini sebagai pasal karet.

Misalnya jika seseorang mengkritik pemerintah, biasanya para relawan berbondong-bondong akan melaporkan tersangka dengan ancaman penghinaan, tentunya dengan penafsiran mereka sendiri.

Padahal belum tentu orang yang dikritik tersebut merasa dihina, bisa saja itu sebagai angin lalu. Selain itu jika itu memang suatu hinaan, lantas siapa sebenarnya yang berhak mengadu? Tentunya korban sendiri yang harus mengadukannya.

Kedua masalah ini yang menyebabkan pasal ini sebagai pasal karet. Penghinaan sepenuhnya subjektif orang yang dihina dan tidak ditafsirkan oleh relawan maupun penyidik sekalipun, dan jika korban mengaggap itu sebagai penghinaan, korban lah yang seharusnya melaporkan sendiri tidak diwakilkan.

Apalagi penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam UU ITE tidak dijelaskan batasannya seperti apa, sehingga cakupan penghinaan dan pencemaran nama baik amat luas. Undang-Undang pun tidak memberikan batasan yang jelas apa itu penghinaan. Untuk itu mengembalikan tafsir penghinaan kepada korban adalah hal yang tepat.

Stigmatisasi Kepolisian yang Sewenang-wenang
Kepolisian selama ini telah mendapatkan stigma negatif dari masyarakat, stigma tersebut didapat karena kepolisian mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan penahanan. Orang yang dianggap mengkritik atau menghina seseorang akan langsung ditahan, hal tersebut yang dinilai kepolisian melakukan kesewenang-wenangan.

Padahal jika kita cermati kembali, pasal-pasal karet yang ada di UU ITE memberikan kewenangan penuh tersebut. Penahanan sendiri ditujukan agar seseorang tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Jika kita mengacu pada KUHAP, tindakan penahanan dikenakan terhadap tersangka yang mana ancaman pidana penjara di atas lima tahun.

Jika kita mengacu pada UU ITE tepatnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, pencemaran nama baik atau penghinaan dan ujaran kebencian diancam dengan pidana penjara 6 tahun. Hal tersebut lah yang menjadikan polisi mempunyai kewenangan penuh dalam melakukan penahanan.

Meskipun dalam revisi yang pertama yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 ancaman pidananya diturunkan menjadi 4 tahun, apalagi jika kita mengacu pada Pasal 310 KUHP yang diancam 9 bulan penjara, tentunya jika mengcau pada KUHAP seseorang yang melakukan tindak pidana pencemaran nama baik hendaknya tidak ditahan. Mengapa demikian?

Pencemaran nama baik atau penghinaan bukanlah suatu kejahatan yang luar biasa, bukan pula kejahatan yang bisa mengganggu ketertiban umum dan keamanan di masyarakat, ini hanya menyangkut antarindividu semata. Untuk itu melakukan penahanan terhadap kasus ini sangat berlebihan.

Karena dengan bebasnya kepolisan melakukan penahan kepada seseorang hal itu yang menyebabkan kepolisan mendapatkan stigma negatif. Contoh yang paling nyata adalah Alm. Ustadz Maheer yang sampai meninggal dunia dalam tahanan. Sungguh ironi, hal ini yang kemudian dikritisi oleh Novel Baswedan, seharusnya orang yang sakit tidak ditahan, dan sekali lagi itu bukan kejahatan yang luar biasa. Namun anehnya apa yang disuarakan oleh Novel Baswedan justru berujung pada pelaporan.

Untuk itu, perkara-perkara yang menyangkut ujaran kebencian dan pencemaran nama baik sebaiknya penahanan tidak dilakukan, karena itu bukan kejahatan luar biasa. Selain itu, penyelasaian kasus-kasus seperti ini sebisa mungkin digunakan dengan langkah restorative justice dan mediasi. Harapan penulis kasus seperti ini tidak sampai ke meja hijau.

Apresiasi harus kita berikan dalam Surat Edaran di atas yang tidak menahan tersangka yang meminta maaf dan mengedepankan mediasi serta restorative justice. Hal yang perlu kita kawal adalah pelaksanaan dari Surat Edaran tersebut, jangan sampai Surat Edaran hanya seperti brosur pinggiran jalan dan tidak diaplikasikan ke dalam penegakkan hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun