Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kala Bermimpi Terancam Bui

23 Desember 2020   21:36 Diperbarui: 23 Desember 2020   22:06 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mimpi bisa kita artikan menjadi dua macam, yang pertama adalah angan-angan dan yang kedua adalah sesuatu yang dialami ketika tidur atau orang sering menyebutnya bunga tidur. Mimpi sebagai angan-angan atau bisa disebut juga dengan cita-cita misalnya jika seseorang mempunyai mimpi untuk menjadi atlet atau abdi negara di suatu hari nanti. Mimpi sebagai bunga tidur adalah gambaran secara umum apa yang terjadi dalam tidur kita, dan itu tentunya tidak nyata.

Mimpi sebagai bunga tidur kadang bisa menjadi pertanda atau hanya sekedar lewat saja, tapi bagaimana jadinya ketika kita membicarakan mimpi (bunga tidur) justru terancam bui? Itu yang dialami oleh Sekretaris Habib Rizieq Syihab Center Haikal Hassan Baras yang menceritakan mimpinya bertemu dengan Nabi Muhammad SAW yang kemudian berbuntut panjang dan terancam bui.

Di dalam mimpi tersebut Haikal Hassan mengaku bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dan kemudian hal itu menjadi materi ceramah dalam acara pemakaman 6 anggota Laskar FPI yang meninggal usai baku tembak dengan aparat kepolisian, Haikal Hassan mengatakan bahwa keenam anggota Laskar FPI tersebut mati syahid. Begitu kiranya isi mimpi tersebut.

Tetapi ceramah yang menceritakan bertemu Nabi Muhammad SAW tersebut berbuntut panjang, isi ceramah tersebut kemudian dilaporkan oleh Sekretaris Jenderal Forum Pejuang Islam Husin Shihab. Alasan pelaporan tersebut diduga Haikal Hassan menyebarkan berita bohong (hoaks) yang berpotensi memecah belah masyarakat, sehingga harus ditindak secara hukum. Haikal Hassan diduga telah melanggar ketentuan Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Dan pada hari ini, Haikal Hasaan memenuhi panggilan kepolisian untuk dimintai keterangan terkait kasus tersebut.

Revisi Undang-Undang ITE

Menurut data yang dihimpun oleh safe.net jumlah kasus pidana yang menggunakan ITE terhitung sampai bulan Oktoer 2020 sebanyak 324 kasus. Berdasarkan perincian dari data safe.net, dari 324 kasus pidana UU ITE tersebut, sebanyak 209 orang dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik, selain itu sebanyak 76 kasus dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. (kontan.co.id)

Pasal 27 ayat 3 sendiri berbunyi "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elekronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." Ancaman pidana bagi yang melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara paling lama 4 tahun dan atau denda sebanyak Rp. 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)

Pasal 28  ayat 2 sendiri berbunyi "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)." Sedangkan ancaman pidan bagi yang melanggar Pasal 28 ayat 2 adalah pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Dari data tersebut jelas bahwa kedua pasal tersebut efektif dalam menertibkan hal-hal yang diatur dalam pasal tersebut, namun pasal tersebut dinilai sebagai pasal karet, karena bisa membungkam kebebasan untuk berekspresi, padahal itu merupakan hak dasar manusia yaitu hak untuk berpendapat dan dijamin oleh undang-undang.

Pencemaran nama baik sendiri dalam UU ITE merupakan lex specialis dari Pasal 310 KUHP. Tetapi yang perlu digarisbawahi adalah pencemaran nama baik dalam KUHP bukan merupakan delik umum tetapi delik aduan, pun begitu seharusnya dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE.

Kategori kata "menghina" itu sendiri harus jelas batasannya, karena ini merupakan delik aduan, maka untuk menilai seseorang dirugikan harus berdasarkan penilaian subjektif dari orang yang dihina, jika orang yang bersangkutan merasa terhina atau dirugikan nama baiknya itu tidak masalah, tetapi apabila orang tersebut merasa tidak dihina, maka sejatinya kasus tersebut tidak diproses.

Hal yang menurut saya menyimpang adalah bahwa Pasal 27 ayat 3 ini berubah menjadi delik umum bukan lagi delik aduan, misalnya jika ada seseorang yang mengkritik pemimpinnya dan kemudian menimbulkan polemik maka para relawan akan melaporkan hal tersebut, tentunya ini bertentangan dengan Pasal 310 KUHP sendiri yang merupakan induk dari lahirnya Pasal 27 ayat 3. 

Penghinaan dapat terjadi apabila orang yang dihina merasa dirugikan, dan orang yang dirugikan tersebutlah yang seharusnya melaporkan, karena ini merupakan delik aduan. Dan orang-orang yang di luar dari orang yang dihina selain keluarga tidak mempunyai hak untuk mengadu.

Penyimpangan dalam  Pasal 27 ayat 3  menjadikan pasal tersebut sebagai alat pukul bagi orang yang tidak sependapat sepemikiran yang jelas ini merupakan perenggutan kebebasan berpendapat, padahal dalam negara demokrasi hal semacam tersebut lumrah terjadi.

Selain itu, Pasal 27 ayat 3 UU ITE juga melupakan ayat 3 dari Pasal 310 KUHP. Dalam ayat 3 KUHP tersebut dijelaskan tidak terjadi pencemaran nama baik atau penghinaan apabila perbuatan tersebut untuk kepentingan umum atau bela diri. Misalkan jika seseorang menghardik seorang pejabat dengan sebutan koruptor dan dia memang korupsi, maka itu tidak termasuk dalam kategori pencemaran nama baik. 

Tetapi sayangnya ketentuan ayat ketiga Pasal 310 KUHP ini tidak tercantum, padahal Pasal 310 merupakan lex generalis dan UU ITE sebagai lex specialis tidak boleh menyimpang dari ketentuan lex generalis. Sebaiknya untuk kasus pencemaran nama baik diselesaikan lewat jalur perdata bukan pidana, karena ini menyangkut antarindividu.

Pasal 28 ayat 2 juga dinilai sebagai pasal karet karena merenggut kebebasan untuk berekspresi yang itu merupakan bagian daripada demokrasi. Kasus Jerinx merupakan salah satu dari penerapan pasal karet ini, teranyar Haikal Hassan juga terancam dengan pasal ini. Padahal harus kita lihat kembali konteks dari ujaran kebencian tersebut, yaitu dampak dari ujaran tersebut. 

Apakah permusuhan antar individu itu terjadi? Apakah permusuhan antara kelompok bahkan sara itu benar terjadi? Kebanyakan hal tersebut tidak terpenuhi, sama seperti yang dialami oleh Jerinx yang menyebut IDI sebagai kacung WHO individu mana yang menjadi terpecah akibat dari pendapat Jerinx tersebut, pun demikian dengan cerita mimpi Haikal Hassan. 

Pikiran saya tidak sampai bagaimana untuk membuktikan bahwa mimpi itu berita bohong sebagaimana tercantum dalam pelaporan tersebut, bagaimana untuk membuktikan itu adalah berita bohong. Dan bagaimana Haikal Hassan membuktikan bahwa itu benar terjadi? sekali lagi mimpi adalah bagian dari tidur.

Untuk itu, sejatinya pasal-pasal tersebut harus segera direvisi agar tidak menimbulkan banyak korban, jangan lah mencantumkan pasal yang multitafsir dan pemaknaan yang terlalu luas, karakter produk hukum tersebut sangatlah ortodoks padahal negara kita menganut sistem demokrasi. Sebaiknya pasal yang tercantum dalam undang-undang seminimal mungkin untuk tidak menimbulkan penafsiran yang luas, dengan begitu pasal-pasal karet tidak akan muncul.

Mengembalikan Tujuan UU ITE

Setiap undang-undang mempunyai politik hukum tersendiri, mempunyai tujuan yang jelas. Lahirnya Undang-Undang ITE merupakan respon atas pesatnya perkembangan teknologi yang terus maju. 

Di dalam konsiderans UU ITE jelas bahwa lahirnya undang-undang ini adalah sebagai akibat dari pesatnya teknologi, yang mana seiring perkembangan zaman, perkembangan teknologi akan menimbulkan perbuatan hukum baru yang tidak diatur dalam undang-undang sebelumnya.

Adanya kemajuan teknologi menyebabkan perubahan yang fundamental dalam kehidupan bermasyarakat yang perlahan-lahan beralih dengan konsep digital. Tentunya perubahan perilaku masyarakat tersebut harus diikuti dengan peraturan hukum baru, karena dapat menimbulkan perbuatan hukum baru.

Transaksi-transaksi yang terjadi di dunia nyata kini beralih dalam dunia maya, sehingga perlu adanya payung hukum sebagai upaya untuk mendukung kemajuan teknologi tersebut, untuk itulah Undang-Undang ITE ini lahir. 

Namun sayangnya, tujuan mulia dari undang-undang ini kini berbelok, dan undang-undang ini hanya dijadikan alat pukul bagi penguasa atau siapapun yang tidak sependapat. Untuk itu, mengembalikan tujuan awal undang-undang ini menjadi penting dengan jalan merevisi pasal-pasal karet yang ada dalam undang-undang tersebut. Sehingga perkara-perkara seperti yang menimpa  Haikal Hassan, Jerinx dan korban dari undang-undang ini tidak terjadi kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun