Kategori kata "menghina" itu sendiri harus jelas batasannya, karena ini merupakan delik aduan, maka untuk menilai seseorang dirugikan harus berdasarkan penilaian subjektif dari orang yang dihina, jika orang yang bersangkutan merasa terhina atau dirugikan nama baiknya itu tidak masalah, tetapi apabila orang tersebut merasa tidak dihina, maka sejatinya kasus tersebut tidak diproses.
Hal yang menurut saya menyimpang adalah bahwa Pasal 27 ayat 3 ini berubah menjadi delik umum bukan lagi delik aduan, misalnya jika ada seseorang yang mengkritik pemimpinnya dan kemudian menimbulkan polemik maka para relawan akan melaporkan hal tersebut, tentunya ini bertentangan dengan Pasal 310 KUHP sendiri yang merupakan induk dari lahirnya Pasal 27 ayat 3.Â
Penghinaan dapat terjadi apabila orang yang dihina merasa dirugikan, dan orang yang dirugikan tersebutlah yang seharusnya melaporkan, karena ini merupakan delik aduan. Dan orang-orang yang di luar dari orang yang dihina selain keluarga tidak mempunyai hak untuk mengadu.
Penyimpangan dalam  Pasal 27 ayat 3  menjadikan pasal tersebut sebagai alat pukul bagi orang yang tidak sependapat sepemikiran yang jelas ini merupakan perenggutan kebebasan berpendapat, padahal dalam negara demokrasi hal semacam tersebut lumrah terjadi.
Selain itu, Pasal 27 ayat 3 UU ITE juga melupakan ayat 3 dari Pasal 310 KUHP. Dalam ayat 3 KUHP tersebut dijelaskan tidak terjadi pencemaran nama baik atau penghinaan apabila perbuatan tersebut untuk kepentingan umum atau bela diri. Misalkan jika seseorang menghardik seorang pejabat dengan sebutan koruptor dan dia memang korupsi, maka itu tidak termasuk dalam kategori pencemaran nama baik.Â
Tetapi sayangnya ketentuan ayat ketiga Pasal 310 KUHP ini tidak tercantum, padahal Pasal 310 merupakan lex generalis dan UU ITE sebagai lex specialis tidak boleh menyimpang dari ketentuan lex generalis. Sebaiknya untuk kasus pencemaran nama baik diselesaikan lewat jalur perdata bukan pidana, karena ini menyangkut antarindividu.
Pasal 28 ayat 2 juga dinilai sebagai pasal karet karena merenggut kebebasan untuk berekspresi yang itu merupakan bagian daripada demokrasi. Kasus Jerinx merupakan salah satu dari penerapan pasal karet ini, teranyar Haikal Hassan juga terancam dengan pasal ini. Padahal harus kita lihat kembali konteks dari ujaran kebencian tersebut, yaitu dampak dari ujaran tersebut.Â
Apakah permusuhan antar individu itu terjadi? Apakah permusuhan antara kelompok bahkan sara itu benar terjadi? Kebanyakan hal tersebut tidak terpenuhi, sama seperti yang dialami oleh Jerinx yang menyebut IDI sebagai kacung WHO individu mana yang menjadi terpecah akibat dari pendapat Jerinx tersebut, pun demikian dengan cerita mimpi Haikal Hassan.Â
Pikiran saya tidak sampai bagaimana untuk membuktikan bahwa mimpi itu berita bohong sebagaimana tercantum dalam pelaporan tersebut, bagaimana untuk membuktikan itu adalah berita bohong. Dan bagaimana Haikal Hassan membuktikan bahwa itu benar terjadi? sekali lagi mimpi adalah bagian dari tidur.
Untuk itu, sejatinya pasal-pasal tersebut harus segera direvisi agar tidak menimbulkan banyak korban, jangan lah mencantumkan pasal yang multitafsir dan pemaknaan yang terlalu luas, karakter produk hukum tersebut sangatlah ortodoks padahal negara kita menganut sistem demokrasi. Sebaiknya pasal yang tercantum dalam undang-undang seminimal mungkin untuk tidak menimbulkan penafsiran yang luas, dengan begitu pasal-pasal karet tidak akan muncul.
Mengembalikan Tujuan UU ITE