Setiap orang yang mempunyai jabatan atau kekuasaan tidak akan pernah merasa puas, orang akan terus mecari jabatan dari bawah hingga jabatan paling tertinggi, logis karena setiap orang pastinya ingin melewati pencapaian sebelumnya.Â
Akan tetapi nafsu akan kekuasaan tersebut menimbulkan keinginan agar kekuasaan tersebut tidak jatuh pada orang lain, hanya orang-orang terdekat (keluarga) yang boleh meneruskan kekuasan tersebut, praktik tersebut sering dinamakan politik dinasti.
Politik dinasti adalah kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah atau kekerabatan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri mengartikan dinasti sebagai keturunan raja-raja yang memerintah, semuanya berasal dari keluarga.
Praktik tersebut sebenarnya sudah ada sejak dahulu, ini bisa dilihat dari beberapa contoh di berbagai negara. Di Tiongkok misalnya, sebelum menjadi negara republik seperti sekarang, Tiongkok pernah menerapkan sistem dinasti, misalnya ada dinasti Ming, dinasti Ming sendiri adalah dinasti yang didirikan oleh Zhu Yuanzhang.
Inggris pun demikian, praktik politik dinasti sudah berlangsung dari abad ke-9 hingga sekrang, dalam urusan kepala negara tidak akan jatuh ke tangan orang lain, untuk menjadi kepala negara adalah mereka yang memiliki garis darah kerajaan atau bangsawan.
Dalam Islam pun dinasti juga muncul, dinasti pertama kali muncul ketika Mu'awiyah bin Abu Safyan menjadi khilafah. Mu'awiyah adalah khalifah pertama yang menjadikan Umayyah sebagai dinasti kekhalifahan. Kemudian kekuasaan tersebut diturunkan kepada putranya yaitu Yazid bi Umayyah.
Di Indonesia sendiri politik dinasti menjadi bagian yang tidak terpisahkan, hal ini karena sebelum bangsa Indonesia merdeka, bangsa kita terdiri dari beberapa kerjaan yang tentunya menganut sistem monarki dan kekuasaan pemerintah hanya akan turun pada keturunan sang raja.
Politik Dinasti Era Modern
Jika kita melihat beberapa contoh dinasti di atas, maka dapat disimpulkan bahwa praktik politik dinasti tersebut didasarkan pada bentuk negara monarki (kerajaan) hal ini sejalan dengan sistem pergantian kekuasaan yang didasarkan pada garis keturunan, atau hubungan darah.
Di era modern sekarang, di era demokrasi praktik politik dinasti masih kita jumpai meskipun dengan rupa yang berbeda. Di Amerika serikat misalnya, ada keluarga Bush yang memiliki banyak dinasti politik. Keluarga Bush telah menghasilkan dua presiden bagi Amerika Serikat yaitu George H.W. Bush dan George W. Bush.
Di Indonesia sendiri kita bisa menjumpai praktik ini, Presiden pertama kita yaitu Ir. Soekarno menjadi presiden pertama dan jejaknya diikuti oleh putrinya yaitu Megawati Soekarno Putri, kemudian putri dari Megawati pun mengikuti jejak sang ibu dang kakek yaitu Puan Maharani yang kini menjadi Ketua DPR RI, dan bukan tidak mungkin akan menjadi presiden juga siapa yang tahu.
Menjelang pilkada serentak, politik dinasti menjadi sorotan, yang paling dituju adalah putra dari Presiden Joko Widodo yang maju dalam Pemilihan Wali Kota dan tentunya sang menantu Boby Nasution yang hendak meramaikan pesta demokrasi ini.
Di daerah penulis sendiri yaitu Kabupaten Bandung, terjadi hal demikian, Sejak Obar Sobarna terpilih menjadi bupati dua periode, jabatan tersebut tidak jatuh ke keluarga lain.
Selain keluarga Obar Sobarna yang kemudian dilanjutkan oleh menantunya yaitu Dadang Naser yang terpilih dua perioede, kemudian pada pilkada saat ini istri dari Dadang Naser yaitu Kurnia Agustina maju sebagai salah satu kontestan. Tentunya ini semakin memperkental praktik politik dinasti di Indonesia.
Padahal jika kita melihat contoh dinasti politik di atas, wajar jika terjadi hal demikian mengingat bentuk negara di atas adalah kerajaan, tetapi untuk negara yang menganut sistem demokrasi itu tidak sejalan dan tentunya kontradiksi. Memang sejatinya suara dikembalikan kepada rakyat sendiri.
Akan tetapi perlu diingat, dari beberapa contoh kasus di atas, ada satu peran yang penting yaitu kekuasaan. Presiden Jokowi dinilai memiliki hal demikian, padahal sebelumnya PDIP tidak merekomendasikan Gibran sebagai calon Wali Kota Solo. Publik wajar mempertanyakan akan keterlibatan atau pengaruh sang ayah yang bisa mempermulus jalan Gibran menjadi Calon Wali Kota begitupun juga dengan Boby Nasution.
Di daerah penulis sendiri jelas hal demikian terjadi pengaruh Dadang Naser dan Obar Sobarna dalam partai Golkar memberikan keistimewaan bagi Kurnia Agustina. Padahal sebelum itu santer terdengar bahwa Dadang Supritna lah yang akan diusung oleh Golkar, tetapi entah apa yang terjadi Kurnia Agustina lah yang melanggeng dalam kontestasi pilkada nanti, sama hal nya dengan Gibran.
Inilah yang menjadikan kualitas demokrasi itu menjadi turun, dimana partai politik lebih mengutamakan mereka yang mempunyai keistimewaan tersendiri.Â
Dan tentu saja belum tentu berkompeten, siapa yang tahu akan hal itu. Adanya pengaruh dari seseorang yang memegang kekuasaan di partai tertentu atau dalam pemetintahan tertentu menutup peluang bagi orang lain yang bisa saja kualitasnya jauh lebih mumpuni.
Akan tetapi karena tidak mempunyai privilege mereka-mereka yang merupakan kader-kader partai tersisihkan oleh beberapa orang yang mempunyai backing kuat, padahal tidak ada riwayat tersediri dari mereka yang mempunyai keistimewaan tersebut sebagai kader partai.Â
Padahal salah satu fungsi dari partai politik adalah menciptakan kader yang berkualitas, dengan banyaknya kader berkualitas parpol tidak akan kesulitan dalam mencari calon pemimpin baik itu di internal partai maupun di luar partai.
Akan tetapi karena privilege lah orang-orang yang bisa saja benar-benar kompeten menjadi tersisihkan. Hal ini menjadikan partai politik sebagai mesin pencetak kekuasaan semata dan menyumbat fungsi lain yaitu kaderisasi patai. Ini lah yang menjadikan pemilu turun kualitasnya. Apa bedanya dengan negara yang menganut monarki, mungkin inilah demokrasi rasa monarki, atau monarki dengan model baru.
Mahkamah Konstitusi Turut Melegalkan Politik Dinasti?
Pemerintah bersama dengan DPR RI pernah membuat undang-undang untuk membatasi pencalonan seorang menjadi kepala daerah bila memiliki hubungan dengan petahana secara berututan. Akan tetapi pasal tersebut dibatalkan oleh MK dengan dalih bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama, dan pasal tersebut dinilai membatasi hak politik seseorang.
Jadi secara tidak langsung Mahkamah Konstitusi turut andil dalam melegalkan praktik ini. padahal praktik politik ini rentan akan penyelewengan kekuasaan, hal ini sudah dicontohkan di Provinsi Banten dimana dinasti Atut terbukti melakukan korupsi.
Meskipun tidak ada jaminan bagi orang yang tidak mempunyai hubungan darah dengan pemimpin sebelumnya untuk tidak melakukan korupsi. Akan tetapi kita harus kembali pada etika politik kita, tidak sepantasnya hal tersebut dilaksanakan.
Partai pun harus kembali pada fungsi aslinya yaitu mencetak kader-kader yang unggul dan bisa menjadi calon pemimpin yang berkualitas, parpol hendaknya tidak memilih seseorang karena mempunya popularitas semata, atau ongkos politik yang tinggi, akan tetapi parpol harus mencetak pemimpin yang benar-benar berkopeten dan berkulatias bukan karena "keistimewaan" atau polularitas semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H