Akan tetapi karena privilege lah orang-orang yang bisa saja benar-benar kompeten menjadi tersisihkan. Hal ini menjadikan partai politik sebagai mesin pencetak kekuasaan semata dan menyumbat fungsi lain yaitu kaderisasi patai. Ini lah yang menjadikan pemilu turun kualitasnya. Apa bedanya dengan negara yang menganut monarki, mungkin inilah demokrasi rasa monarki, atau monarki dengan model baru.
Mahkamah Konstitusi Turut Melegalkan Politik Dinasti?
Pemerintah bersama dengan DPR RI pernah membuat undang-undang untuk membatasi pencalonan seorang menjadi kepala daerah bila memiliki hubungan dengan petahana secara berututan. Akan tetapi pasal tersebut dibatalkan oleh MK dengan dalih bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama, dan pasal tersebut dinilai membatasi hak politik seseorang.
Jadi secara tidak langsung Mahkamah Konstitusi turut andil dalam melegalkan praktik ini. padahal praktik politik ini rentan akan penyelewengan kekuasaan, hal ini sudah dicontohkan di Provinsi Banten dimana dinasti Atut terbukti melakukan korupsi.
Meskipun tidak ada jaminan bagi orang yang tidak mempunyai hubungan darah dengan pemimpin sebelumnya untuk tidak melakukan korupsi. Akan tetapi kita harus kembali pada etika politik kita, tidak sepantasnya hal tersebut dilaksanakan.
Partai pun harus kembali pada fungsi aslinya yaitu mencetak kader-kader yang unggul dan bisa menjadi calon pemimpin yang berkualitas, parpol hendaknya tidak memilih seseorang karena mempunya popularitas semata, atau ongkos politik yang tinggi, akan tetapi parpol harus mencetak pemimpin yang benar-benar berkopeten dan berkulatias bukan karena "keistimewaan" atau polularitas semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H