Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Kerja Senyap DPR dan Pemerintah dalam Mengesahkan RUU Cipta Kerja

6 Oktober 2020   01:02 Diperbarui: 7 Oktober 2020   12:50 2232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : kompas.com

Dalam kesunyian malam, kala masyarakat hendak beristirahat dari segala aktivitas, di belahan bumi lain yaitu parlemen Pemerintah dan DPR mempunyai misi khusus.

Misi ini dimaksudkan untuk mempermulus setumpukan aturan yang disinyalir bisa mendatangkan investor dan membuka lapangan kerja baru lewat RUU Cipta Kerja. Pembicaraan tingkat I telah usai dibahas kemudian melangkah pada tingkat pembicaraan tingkat II yang tengah kita saksikan pada hari ini.

Langkah yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR dinilai tergesa-gesa dan tidak menyesuaikan dengan kondisi yang sedang terjadi pada saat ini. Pemerintah malah mengurus RUU Cipta Kerja dan Pilkada dibandingkan dengan penanganan covid-19 yang kian hari masih belum menunjukan penurunan.

Sejatinya dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus memperhatikan berbagai aspek, yaitu aspek formil dan aspek materil. 

Aspek formil adalah prosedur atau tahapan yang harus dilewati oleh DPR maupun Pemerintah dalam mengajukan sebuah RUU. Kemudian aspek materil adalah substansi dari undang-undang itu sendiri.

Permasalahannya apakah kedua aspek itu sudah dilaksanakan dengan baik atau tidak? Jika itu dilaksanakan dengan baik maka akan lahir undang-undang yang berkualitas. Jika tidak maka yang lahir adalah undang-undang yang tidak berkualitas.

Sejak pembentukan RUU Cipta Kerja ini dilaksanakan, banyak pro-kontra yang terjadi di berbagai kalangan. Ada yang menyebutkan bahwa sejatinya Omnibus Law yang termasuk di dalamnya RUU Cipta Kerja ini tidak sesuai dengan sistem hukum Indonesia.

Omnibus Law tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dari segi substansi, banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak terutama dari kaum buruh yang dinilai pasal-pasal yang terkandung di dalam RUU Cipta kerja merugikan kaum kerah biru.

Materi Muatan yang Bemasalah

RUU Cipta kerja merupakan gabungan dari beberapa undang-undang yang kemudian dibuat dalam satu undang-undang, tujuan agar terjadi penyederhanaan. 

Di dalam RUU Cipta kerja sendiri terdapat beberapa klaster yang meliputi peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, ketenagakerjaan, kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan, UMKM serta perkoperasian, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, pengadaan lahan, kawasan ekonomi, investasi pemerintah dan percepatan proyek strategis nasional, pelaksanaan administrasi pemerintahan, dan pengenaan sanksi. 

Sebelumnya pendidikan juga masuk ke dalam klaster RUU Cipta Kerja. Hal itu jelas mendapatkan penolakan dari aktivis pendidikan yang menyatakan bahwa pendidikan bukan merupakan bisnis.

Klaster ketenagakerjaan merupakan klaster yang paling disoroti dan mendapat penolakan keras dari kaum buruh. Misalnya dalam Pasal 88 C yang mengatur mengenai upah minimum, dan upah minimum tersebut adalah upah minimum provinsi.

Padahal dalam Pasal 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membedakan upah minimum ke dalam upah minimum provinsi dan atau kabupaten kota.

Jika disamaratakan belum tentu biaya hidup di setiap kabupaten/kota sama. Adanya perbedaan dalam upah minimum justru disesuaikan dengan kebutuhan hidup layak, yang pastinya setiap daerah mempunyai standarnya tersendiri, dan tentunya biaya standar hidup layak tersebut berbeda di setiap wilayah kabupaten/kota. 

Maka jika daerah yang katakanlah memerlukan biaya hidup yang tinggi dan upah minimum yang ditetapkan lebih rendah dari sebelumnya, standar hidup layak itu sendiri tidak terpenuhi. Sayangnya pengaturan upah yang terdapat di dalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan tersebut dihapus.

Selain itu di dalam Pasal 90 UU Ketenagakerjaan setiap perusahaan tidak boleh meberikan upah yang rendah di bawah upah minimum. Namun sayangnya Pasal 90 tersebut justru dihapus dalam RUU Ciptaker. Ini jelas merugikan. Bukan tidak mungkin perusahaan akan memberikan upah di bawah standar yang ditetapkan mengingat kewajiban untuk memnuhi upah sesuai standar telah dihapus.

Selain mengenai upah, pasal yang menjadi permasalahan lain adalah Pasal 93 ayat 2. Pasal ini merupakan pengecualian bagi pekerja yang tidak melakukan pekerjaan akan tetapi akan tetap mendapatkan upah.

Namun sayangnya ada beberapa pengecualian yang dihapus dalam RUU Cipta Kerja yang terdapat dalam Pasal 93 ayat 2 UU Ketenagakerjaan yaitu perempuan yang haid pada hari pertama yang menyebabkan tidak dapat menjalankan pekerjaannya, pekerja yang menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan atau keguguran kandungan, dan saudara yang meninggal dunia, pekerja yang tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadahnya.

Pasal 93 ayat 2 RUU Ciptaker hanya menyebukan pekerja yang tidak bekerja akan tetapi tetap mendapatkan upah karena suatu halangan tertentu.

Perlu digarisbawahi apa yang dimaksud dengan berhalangan tersebut, apakah di dalamnya termasuk halangan yang tidak dimasukan dalam Pasal 93 ayat 2 UU Ketenagakerjaan yang disebutkan di atas? 

Tentunya ini harus ada kejelasan apa yang dimaksud berhalangan tersebut, jangan sampai karena pekerja yang menjalankan ibadah atau menemani istrinya yang melahirkan atau keguguran kandungan tidak termasuk ke dalam frasa berhalangan tadi.

Selain itu materi yang menjadi peramsalahannya adalah dihapuskannya Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, pasal tersebut mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Pasal tersebut menjelaskan bahwa PKWT paling lama 3 tahun dan setelah melewati masa itu maka akan menjadi karyawan tetap. 

Namun sayangnya pasal ini justru dihapus dalam RUU Ciptaker, ini justru berpotensi pekerja tidak akan menjadi karyawan tetap dan akan menjadi karyawan kontrak selamanya karena tidak ada batasan dalam PKWT tersebut.

Produk Hukum Konservatif

Suatu peraturan perundang-undangan dapat dinilai apakah produk hukum tersebut bersifat responsif atau konservatif. Produk hukum responsif adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. 

Dalam proses pembuatan peraturan tersebut memberikan peranan besar kepada berbagai elemen masyarakat untuk turut serta dalam proses pembentukannya dengan kata lain masyarakat dilibatkan langsung. Maka hasil dari produk hukum tersebut akan sesuai dengan harapan masyrakat.

Sifat yang kedua adalah konservatif atau ortodoks yaitu produk hukum yang isinya hanya mencerminkan kepentingan golongan tertentu atau bahkan kalangan elite saja, jelas produk hukum ini merupakan jauh dari harapan masyarakat. Bisa dikatakan RUU Ciptaker merupakan produk hukum yang konservatif.

Produk hukum yang bersifat responsif melibatkan pastisipasi masyarakat, sedangkan produk hukum konservatif hanya melibatkan segelintir orang saja dan bersifat sentralistis.

RUU Cipta kerja haruslah melibatkan kelompok masyarakat yang seluas-luasnya, masyarakat haruslah diberi ruang untuk memberikan masukan dalam pembuatan RUU tersebut, dengan demikian suara masyarakat bisa terwakilkan. Dan aturan yang dihasilkan mencerminkan kehendak masyarakat pada umumnya. 

Pertanyaannya apakah RUU ini mencerminkan kehendak masyarakat secara luas atau justru mencerminkan kepentinga sekelompok elite saja? Tentunya setiap orang mempunyai penilaiannya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun