Apalagi mahasiswa yang lahir di era digital saat ini. Swafoto serta membagikan apa yang dilakukan, apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan kepada orang lain kian menjamur.Â
Media sosial dalam hal ini adalah wadah yang tepat dalam express-nya sebagai mahasiswa. Namun di balik semua itu tidak berbanding lurus dengan apa yang didapatkan di dunia kampus. Mereka malah mendapatkan tugas yang bertubi, keuangan menipis, menghadapi dosen killer, dan sebagainya. Lucunya, kondisi demikian juga di abadikan.
Lebih lanjut berjalannya waktu diikuti dengan tawaran berorganisasi oleh para senior dengan segala kemampuan lobinya sejenak tertanam makna menjadi mahasiswa sesungguhnya.Â
Dengan kelihaian retorikanya terbesit dalam benak bahwa benar seorang mahasiswa memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Menjadi mahasiswa tidak hanya mengasah kemampuan intelektual bagi dirinya sendiri, lebih jauh daripada itu juga berperan aktif dan bertanggung jawab atas masalah sosial sebagaimana tadi disinggung.Â
Lintasan kesadaran ini pada waktu yang sama bersaut-sautan dengan dampak negative yang dihadapi ketika berorganisasi. "Sudahlah apa gunanya berorganisasi, toh mahasiswa yang tidak berorganisasi akhirnya juga banyak yang sukses dengan masa kuliahnya lebih santai, jika dibandingkan dengan mahasiswa yang berorganisasi yang sibuk ke sana ke mari." Yaa walaupun bisikan ini pada akhirnya juga dikalahkan oleh doktrin yang diterima dari para senior.
Sampailah akhirnya bergabung organisasi dengan berbagai varian tujuann, termasuk mahasiswa yang bergabung hanya karena loby semata (dikarungkan). Ya terlepas dari itu, penempaan selama berdinamika dalam organisasi perlahan membentuk pola pikir sebagai mahasiswa pada hakikatnya. Narsisme sebagai fenomena mahasiswa awal mulai bergeser dengan apa yang disebut Kritis.Â
Tentu kritis inipun juga dipertanyakan. Sebab kata kritis bersifat homonym. Bisa saja kritis ini diartikan sebagai pola pikir yang selalu mempertanyakan sesuatu dengan ketajaman analisisnya atau bisa juga dimaknai dengan kondisi yang gawat darurat.Â
Nampaknya mahasiswa saat ini secara tidak sadar berada pada dua kategori itu, kalau tidak pada makna yang pertama berarti termasuk dalam makna kedua. Kita tidak tau apakah makna pertama benar-benar ada dalam diri manusia atau hanya bayangan semu belaka yang pada akhirnya terjerumus pada makna yang kedua.
Meskipun demikian angggap saja itu sebagai proses tahapan mencapai hakikat mahasiswa, andaikan tidak mengalami hal demikian tentu persoalan tersebut tidak akan dialami dengan proses yang selalu membawa pada perubahan. Proses inilah yang mengantarkan mahasiswa pada pola pikir dalam memahami esensi mahasiswa.Â
Jika agama memberikan pilihan kepada manusia dalam menghadapi kemungkaran dengan mengubah secara langsung melalui tangannya, atau  melalui lisan atau hanya cukup mengingkari dalam hati dan pilihan terakhir adalah selemah-lemah iman. Maka pada konteks mahasiswa sebaik-baik mahasiswa adalah mahasiswa akademis yang organisatoris baik internal maupun eksternal kampus.Â
Jika tidak sanggup, cukup menjadi mahasiswa akademis yang organisatoris secara internal, jika masih tidak sanggup cukup menjadi mahasiswa akademis saja, dan tentu itu adalah selemah-lemah "iman".