Mohon tunggu...
Dani Iskandar
Dani Iskandar Mohon Tunggu... -

- Owner EO Jalani Production - Redaktur Pelaksana Majalah Catur PCNI - Ketua Komunitas Cinta Damai - Sufi Modern

Selanjutnya

Tutup

Politik

Udahlah Ga Usah Munafik

17 Januari 2018   21:31 Diperbarui: 17 Januari 2018   21:36 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bpk. Prabowo dan Bpk. La Nyalla

Baru-baru ini kita mendengar ada curhatan salahsatu tokoh publik yaitu Bapak La Nyalla bahwasanya pimpinan partai Gerinda meminta mahar untuk keikutsertannya di pilkada Jatim.

Pertanyaannya sekarang, apa tidak boleh partai meminta mahar atau apalah namanya kepada calon yang akan maju di pilkada??

Sebelum kita menjawab boleh apa tidaknya, kita harus melihat dari sisi keuangan dari partai yang ada di Indonesia.

Tidak di pungkiri bahwasanya pemerintah mempunyai dana yang di berikan kepada partai. Berdasarkan Landasan hukum pemberian bantuan keuangan kepada partai politik yakni melalui Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008 yang diatur dalam UU 2/2011 tentang Partai Politik. Terdapat tiga sumber keuangan partai pollitik yakni (1) iuran anggota; (2) sumbangan perseorangan dan badan usaha; serta (3) bantuan keuangan negara.

Sudah pasti dana partai dari pemerintah tidak akan mencukupi pilkada-pilkada yang berlangsung di Negara Indonesia. Sehingga memungkinkan untuk meminta kepada calon yang akan maju untuk urun rembug menyumbangkan dananya. Dan itu di bolehkan kan? Bukankah di undang-undang tersebut dikatakan dana bisa di dapat dari sumbangan perseorangan atau badan usaha?

Pada suatu kegiatan bersama dengan para kepala daerah, Mendagri Tjahyo Kumolo pernah mengungkapkan untuk mengikuti pemilihan Bupati/Walikota dibutuhkan sedikitnya dana Rp 20 miliar. Itu jumlah minimal. Bagaimana kalau pemilihan Gubernur? Tentunya lebih besar lagi.

Sebagai contoh adalah ketika terjadinya pilkada Gubernur di DKI. Berdasarkan hasil audit oleh auditor hasil seleksi, dana kampanye paslon nomor urut 1, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, tercatat Rp 68,967 miliar. Dana yang terpakai Rp 68,953 miliar. Sedang paslon nomor urut 2, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, Rp 60,190 miliar. Dana yang terpakai Rp 53,696 miliar. Dan paslon nomor urut 3, Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno, Rp 65,272 miliar dan dana yang terpakai 64,719 miliar.

Memang tidak murah untuk menjadi Kepala Daerah. Semakin tinggi levelnya makin besar kebutuhannya. Dan Negara hanya membayar biaya pemilihan, bukan biaya kampanye dari tiap calon.

Melihat besarnya biaya yang dibutuhkan maka jangan mimpi deh untuk jadi Gubernur, Bupati, atau Walikota dengan dana yang minim apalagi ingin gratis.

Kampanye, pencitraan calon, event-event pendukung, sumber daya manusia yang terlibat, media untuk pemberitaan, iklan dan segala sesuatunya untuk kegiatan pilkada, semuanya memerlukan biaya.

Dengan biaya sebesar itu, apakah di tanggung partai pendukungnya? Tentu tidakkan? Partai tidak akan mungkin menanggung semua biayanya. Sekalipun semua partai saling berkoalisi. Tentunya dananya harus dikeluarkan oleh calon atau juga melibatkan para donatur-donatur lainnya.

Ada juga faktor lain, dimana si calon bisa juga menjual mahal untuk mengeluarkan biaya yang segitu gedenya. Ini bisa terjadi apabila si calon adalah tokoh yang mempunyai popularitas dan elektabilitas tinggi. Sehingga untuk mencapai kemenangan di atas 75%.

So, melihat dari besarnya biaya pilkada, apakah kita masih harus mempersalahkan apabila ada partai yang meminta mahar atau apapun namanya untuk keberhasilan jalannya pesta rakyat ini? Mengapa kita harus berpura-pura untuk mengakuinya bahwa dana mahar itu memang ada.

Sebaiknya kalau pemerintah memang melarang adanya mahar. Buatlah undang-undang agar pilkada itu tidak mahal. Misalnya melarang kampanye di lapangan. Melarang segala iklan di jalan. Melarang konvoi-konvoi motor. Melarang segala sesuatu yang mengundang massa.

Buatlah agar calon mengadakan kegiatan-kegiatan yang lebih kreatif yang tidak cenderung pesta seperti kampanye di lapangan atau konvoi motor yang sangat mengganggu itu. Dijamin deh biaya pilkada akan lebih minim.

Yogyakarta, 17012018

Dani Iskandar, ST

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun