Kuarahkan tatapanku ke bawah, sebuah pigura kaca berukuran kecil pecah, serpihan kacanya berhamburan di lantai gerbong. Kaki brengsekku ini tak sengaja menginjaknya. Ah! aku  kembali mengumpat  kesal, ini semua gara-gara petugas tiket sialan itu! Pigura ini berisi fotoku dan Bapak ketika kami masih sama-sama hidup sebagai keluarga.Â
Dahulu aku tersimpan di tubuh Bapak, sebagai zat mati tetapi hidup, hingga akhirnya aku dititipkan ke rahim manusia yang disebut-sebut sebagai Ibu. Di sana aku hidup beberapa saat, dan pindah ke alam dunia namun hanya sekejap saja. Kenyataanya hubungan keluarga akan lenyap ketika kita mati, buktinya tak ada di gerbong ini yang tidak duduk sendiri.Â
Tanganku pelan membenahi serakan kaca yang tercerai, akan kubuang saja ke jendela. Aku tak peduli pada siapapun di gerbong ini, kecuali seorang lelaki yang namanya kucatat dalam hati.Â
Ia berjalan bersama kami semua, tujuannya sama, untuk mengenang perjalanan hidup, dalam sebuah kereta.Â
Kenapa pigura ini ada dalam ransel yang kubawa?Â
Ya. Aku mencurinya dari seorang lelaki yang duduk di pojok sana, ia adalah Bapakku di masa lalu.Â
Kulon Progo, Januari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H