Tidak terkejut ketika membaca koran Kompas pagi ini yang memberitakan pengguna narkoba di Sumut tembus 1,3 juta. Angka ini mungkin saja salah.Â
Salah bukan karena terlalu besar melainkan angka itu terlalu kecil untuk saya yang sejak lahir tak pernah bergeser "sesentipun" dari Sumut. Bahkan, MedanBisnisDaily.com pada Juni 2022 menyebut pengguna Narkoba di Sumut tembus 1,5 juta.
Penyalahgunaan narkoba memang sangat mengkhawatirkan dimana hal itu menjadi pintu masuk aksi-aksi kejahatan. Pelaku begal, rampok sampai pencuri yang tertangkap tidak sedikit dari mereka yang pemakai narkoba.
Dengan total pengguna hampir setengah dari total pengguna narkoba di Indonesia yakni 3,3 juta, Sumut Menjadi fokus Presiden sampai-sampai Kapolda dan Pangdam dipanggil ke Istana baru-baru ini khusus untuk membahas masalah ini.
Pertanyaannya adalah, kenapa bisa sedemikian parah? Â
Saya mencoba mengurai pengalaman pribadi saya secara singkat untuk menjawab pertanyaan di atas.
Keterlibatannya oknum-oknum.
Sudah bukan menjadi rahasia lagi dimana ada banyak oknum yang ikut bermain barang haram ini. Presiden Jokowi juga menyebutkan hal tersebut dalam pengantarnya ketika membahas darurat narkoba beberapa waktu yang lalu.
Cerita klasik soal beking-membekingi sudah sering kita dengar. Seperti datang bukan untuk menindak melainkan meminta setoran. Si Anu bekingannya si Polan sehingga aman sampai bertahun-tahun. Begitulah.
Contoh terbaru yang membuat masyarakat geleng kepala adalah kasus yang sedang dihadapi salah seorang petinggi Polri Irjen Teddy Minahasa.Â
Tidak perlu saya ceritakan karena sudah viral. Kasus ini sarat akan makna, kalau Jendral saja berani sedemikian parah, bagaimana lagi dengan yang di bawahnya.
Minimnya Partisipasi Masyarakat.
Karena mengetahui adanya oknum-oknum yang nakal, sering sekali membuat masyarakat takut untuk bertindak bahkan tidak percaya diri untuk melaporkan.Â
Takut bertindak karena pengguna narkoba identik dengan preman, dan tidak percaya diri untuk melaporkan karena banyak oknum juga yang ikut terlibat.
Masyarakatpun terkesan mendiamkan dan terbangunlah prinsip "Asal aku tak dirugikan". Atau "Yang penting aku, anakku aman tidak ikutan", termasuk saya juga sempat begitu.Â
Tak jarang saya melihat langsung orang bertransaksi narkoba, bahkan sedang memakai namun tidak dapat berbuat apa-apa.
Tak sedikit pula saya mendengar "cerita klasik" anak-anak binaan komunitas saya, di salah satu tempat di kota Medan yang orang tuanya tertangkap saat menggunakan narkoba bisa bebas dalam beberapa hari dengan uang tebusan.
Namun, sejak menjadi korban pencurian oleh para pengguna narkoba tahun 2020 menyadarkan saya, bahwa hidup berdampingan dengan pengguna narkoba membuat hidup tidak nyaman, tidak aman dan dirugikan.Â
Bukan mengucilkan. Namun lihatlah begal, pencuri, maling hingga rampok menjadi kejahatan yang hampir setiap hari kita dengar di Medan. Tentu, Narkoba adalah pintu masuknya. Jika terus didiamkan, ini hanya masalah waktu untuk mendapat korban-korban baru.
Momentum.
Ajakan PJ Gubernur Sumatera Utara Hassanudin untuk memberantas narkoba bersama-sama perlu direspon serius meski saya sudah memulainya terlebih dahulu sekalipun dalam rasa takut dan ketidakpercayaan diri.
Mengambil jalan lain dalam hal pencegahan dengan aktif membina anak-anak di suatu tempat dan menyelenggaran event olahraga dan seni menjadi salah satu contoh yang dapat dilakukan.
Tertangkapnya 757 pengedar dan 241 penyalahgunaan narkoba  di Sumut dalam waktu 3 minggu menandakan bahwa kali ini Polda Sumatera Utara benar-benar serius untuk memberantas narkoba.
"Kami tidak akan main-main dengan pemberantasan peredaran gelap narkoba. Tidak ada tempat bagi sindikat pengedar narkoba," kata Kabid Humas Polda Sumut Kombes Hadi Wahyudi. Selain ditangkap, harta benda para pengedar juga disita untuk dimiskinkan agar dapat memutus pendanaan jaringan gelap narkoba.
Keseriusan Polda Sumut kali ini menjadi momentum untuk dapat memunculkan kembali keberanian dan kepercayaan diri masyarakat untuk terlibat dalam pemberantasan narkoba di Sumatera Utara.
Perlunya penambahan panti rehabilitasi
Dengan sedang masifnya pergerakan Polda Sumatera Utara dalam melakukan penindakan terhadap penyalahgunaan narkoba hendaknya diimbangi dengan ketersediaan panti rehabilitasi.
Kenyataannya sangat miris melihat angka dengan 1,3 juta pengguna narkoba di Sumatera Utara dengan panti rehabilitasi yang hanya dapat menampung maksimal 4000 orang dalam setahun.Â
Hal ini perlu mendapatkan atensi penuh dari pemangku kebijakan. Sehingga, hukuman bagi pengguna narkoba tidak melulu soal penjara melainkan dapat direhabilitasi sepenuhnya.
Sebagai penutup, ucapan terimakasih saya kepada Polda Sumatera Utara untuk gerak cepat ini yang membuat saya semakin bertekad pada angan #Medanzeronarkoba
Salam dari Medan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H