Yesus sendiri memang takut, tetapi Dia memilih untuk menghadapinya sampai akhir kesudahannya.
Sementara Bunda Maria juga tentu hatinya sangat hancur lebur menghadapi peristiwa salib puteranya. Namun, ia memilih untuk mengikuti Yesus di Jalan Salib itu dan berdiri di kaki salib Yesus, Stabat Mater Dolorosa. Ia takut akan masa depannya juga dengan wafat putera satu-satunya yang menjadi tumpuan harapannya.
Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena. Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu!" Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya. (Yoh 19:25-27).
Para murid pun, orang-orang terdekat dengan Yesus, pergi meninggalkan  Yesus seorang diri menjalani hukuman salib seperti dinubuatkan Zakharia.  pengikut Sang Gembala, murid-murid-Nya, berserak meninggalkan Dia (Za. 13:7). Petrus yang mewakili para murid pun, menyangkal tiga kali (Matius 26:69-75; Markus 14:66-72, Lukas 22:54-62, Yohanes 18:17-27).
Para wanita Yerusalem hanya bisa menangisi kisah tragis Yesus di jalan salib. Tanda suatu ketakutan wanita yang tidak mampu melakukan apa-apa terhadap penderitaan sesama yang terjadi di depan mata karena banyak urusan anak dan keluarga.
Para pemimpin Yahudi menghasut rakyat Yahudi untuk menutupi ketakutannya pada salib Yesus dan bersembunyi dalam kekuatan abstrak kebencian rakyat / masal.Â
Mereka  menciptakan gambaran sesat tentang siapa dan apa yang dilakukan Yesus. Kuasa Yesus untuk menyembuhkan, pelbagai muzizat, dan mengusir setan, dicurigai berasal dari Beelzebul. Ketakutan para pemimpin Yahudi pada salib ini sangat tampak dengan sering terjadinya konflik para murid yang menimpakan pelaku penyaliban itu secara konkrit.
Apa yang ingin dikatakan untuk pembelaan terhadap UAS adalah bahwa siapa saja takut terhadap salib termasuk Yesus dan para murid Yesus, orang-orang Kristen.
Melampaui Ketakutan Akan Salib
Siapa saja secara manusiawi takut akan salib, betul. Menghadapi kematian dan kehancuran diri serta keberadaannya yang sudah menjadi hukum alam, dihadapi sikap bagaimanapun tetap menakutkan. Melakukan tindakan baik dan etika serta olah meditasi sebanyak mungkin, juga tidak menolong terhadap ketakutan akan punahnya dirinya.Â
Orang jahat dan orang baik sama-sama bernasib sama, mati. Begitu pula pengetahuan, tidak banyak menolong. Orang arif atau orang sembrono dan bodoh, sama-sama akhirnya berkalang tanah juga. Keutamaan-keutamaan pokok (keadilan, kearifan, keberanian, dan ugahari) yang dikembangkan manusia untuk menghadapi hidup, ternyata juga tidak bergeming menghadapi ketakutan akan salib.
Berhadapan dengan ketakutan salib itu tidak bisa dicari dari keunggulan-keunggulan manusia, apalagi kelemahan manusiwi. Ia harus dicari dari luar manusia yang sifatnya adimanusia. Â Manusia hidup bukan karena kehendaknya sendiri. Hidup ada yang menyelenggarakannya. Penyelenggaraan Ilahi.