Ia ingin membuyarkan setiap rencana Allah yang bekerja dalam usaha dan kehendak baik orang-orang yang dikasihi-Nya. Kalaupun roh itu gagal mengacaukan rencana Allah, ia setidaknya menghambatnya agar manusia dan kemanusiaan sejati terbelenggu dalam dosa terus.
Gerakan reformasi yang digulirkan Teresa dari Avila dan bersama dengan Yohanes dari Salib di kalangan biara Karmelit, membuat dirinya dihukum cambuk dan dipenjara dalam sel tersendiri terlepas dari persaudaran.
Roh pemecah belah itu memang berhasil menebarkan jebakannya, tetapi dihadapan Yohanes dari Salib justru di kegelapan malam karena mengikuti jejak Tuhan Yesus Kristus itulah, si penjebak itu menyingkapkan siapa dirinya yang sejati, yakni si pembuat onar, pembinasa manusia sejak awal mula.
Dalam kegelapan dan kesengsaraan, seperti gurunya Yesus Kristus seperti diwahyukan dalam Kitab Suci, tidak membuat Yohanes dari Salib putus asa. Justru dalam kegelapan dan kesengsaran itu, Yohanes dari Salib memperoleh pengalaman-pengalaman religius seperti tampak dalam puisi-puisi indahnya.
Ia justru memperoleh rahmat meskipun melewati jalan sempit (dan penuh kesukaran). Tidak berhenti di situ, Yohanes dari Salib ini memberikan kesaksian otentik. Ia mengajarkan jalan itu kepada orang-orang yang ingin mencapai kebersatuan dengan Tuhan. Di sinilah dia menjadi pembimbing yang bisa diteladani di masa kini justru di tengah-tengah banyak guru-guru dan pembimbing rohani palsu. Itulah sosok Juan de Yepes (1540 - 1591) yang dikenal dengan Yohanes dari Salib.
Bagaimana pengalaman, pemikiran, dan bimbingan Yohanes dari Salib dapat kita pakai untuk mengolah pengalaman-pengalaman kita sendiri untuk kematangan hidup rohani ?
Buku Yohanes dari Salib ini memberi tawaran jawaban yang menarik. Buku karya Fr. Wilfrid MvGreal, OCarm ini mengantarkan kita memahami jalan yang dilalui Yohanes dari Salib itu. Pembahasannya ringkas, padat, dan jelas sehingga mudah dipahami dan tentu membangkitkan semangat rohani menuju kesempurnaan, Gunung Karmel, Gunung Kesempurnaan.
Intinya, cara menuju keakraban dengan Tuhan adalah dengan melepaskan segala sesuatu yang dianggap sangat disenangi dan sangat penting dalam hidup. Sungguh suatu cara yang tidak mudah. Suatu jalan yang sempit. Yohanes dalam The Ascent of the Mount Carmel (Pendakian Gunung Karmel) menunjukkan antitesis 'todo' (segala) dan 'nada' (tiada).
"...'nada' atau tiada, merupakan bagian dari sebuah proses mencapai kebebasan pribadi yang mendalam - pelepasan beban yang menghambat perkembangan diri. 'Nada' adalah jalan yang menjadi bagian dari perjalanan yang disebut malam gelap," kata penulis buku Guilt and Healing, Fr. Wilfrid McGreal, OCarm ini (h. 55).
Suatu malam gelap sendiri, menurut Yohanes dari Salib terdiri dua tahap, yaitu 'malam aktif bagi rasa' dan 'malam pasif bagi jiwa'. Perpindahan dari tahap satu ke tahap lainnya adalah perpindahan dari meditasi menuju doa kontemplasi.
'Malam aktif bagi rasa' dimulai oleh seseorang yang ingin lebih dekat dengan Tuhan. Di tahap inilah tahap koreksi atas tingkah laku yang penuh dosa dan kepuasan yang berpusat pada diri pribadi, dilakukan.