Menurut Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, ulasan-ulasan singkat tentang pemikiran para pemenang Hadiah Nobel ini penting kita pelajari, khususnya untuk negara-negara yang sedang berkembang / kelompok Selatan, justru karena pengaruhnya pada kegiatan-kegiatan nyata di negara-negara 'Selatan' seperti Indonesia.
Dalam jangka waktu yang lama ke depan, diakuinya, dominasi Utara di dalam pengembangan pemikiran-pemikiran ekonomi akan merupakan kenyataan yang terpaksa diterima. Dengan pemahaman yang mendalam pada pemikiran-pemikiran pemenang Nobel, ini akan menyiapkan kemampuan kita. Setidaknya, diharapkan kita tidak mengekor pada rekomendasi-rekomendasi yang diberikan pihak Utara.
Mungkin benar
Mungkin benar yang dianjurkan sosok ekonom sekelas Dorodjatun ini, tetapi itu mengandaikan kalau tradisi pemikiran ekonomi kita kuat. Artinya, berdasarkan pengalaman Indonesia dan bukan sekedar cangkokan dari tradisi pemikiran luar tanpa internalisasi.
Dan, hal itu tercermin dalam pengelolaan APBN atau perjalanan roda ekonomi yang terjadi secara konkrit (termasuk pengelolaan BUMN dan anak-anak perusahaan BUMN). Memang benar, perekonomian secara konstitusional (eksplisit) didasarkan UUD 1945 pasal 33. Â Tapi, apakah memang benar yang sedang berjalan secara konkrit seperti tercantum dalam konstitusi atau setidaknya arahnya dan semangatnya seperti dimaksudkan konstitusi ? Sementara ekonom-ekonom yang bergerak di tingkat negara (dan itu yang lebih berpengaruh konkrit) lebih condong ke Konsensus Washington, Bank Dunia, IMF, WTO, konsep 'menetes ke bawah', dan sebagainya.
Pemikiran ekonomi Pancasila (dan tentunya kita ingat Mohamad Hatta) yang diperjuangkan salah satunya Mubyarto  almarhum atau Sri Edi-Swasono, misalnya mempertahankan UUD 1945, khususnya pasal 33, akhirnya diamandemen juga atas nama reformasi. Padahal, pertimbangan dan penilaian apakah pasal itu dilaksanakan betul-betul atau tidak selama Orde Baru yang mengklaim diri sebagai "melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen" sebelum diamandemen juga tidak dilakukan.
Yang penting, diamandemen supaya kelihatan reformis (Maklum waktu itu masih panas-panasnya mahasiswa yang kebanyakan tingkat satu demo). Lalu, di sinilah perjalanan perekonomian tidak fokus dan terarah lagi. (Sebenarnya jelas dan terarah, yaitu ke arah Bank Dunia, IMF, Konsensus Washinton, WTO tanpa melihat ekonomi masyarakat yang dilakukan justru oleh orang-orang terkemuka Indonesia sendiri yang mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri).
Dalam jangka waktu yang lama ke depan, dominasi Utara di dalam pengembangan pemikiran-pemikiran ekonomi akan merupakan kenyataan yang terpaksa diterima. Dengan pemahaman yang mendalam pada pemikiran-pemikiran pemenang Nobel, ini akan menyiapkan kemampuan kita. Setidaknya, diharapkan kita tidak mengekor pada rekomendasi-rekomendasi yang diberikan pihak Utara.
Buku ini berguna untuk mengetahui kira-kira ke arah mana perekonomian berkembang atau mundur. Kadang, pemikiran-pemikiran ini sering dikutib para ekonom kita. Kadang menjadi pembenar dari praktek selama ini. Kadang dijadikan sebagai bahan penangkis bila ada serangan oleh pemikiran lain atau alternatif lain.
Kadang, dijadikan untuk menyerang atau mengkritik kebijakan. Kadang dijadikan pembelaan atau hiburan. Tapi, lantas bagaimana riil perekonomian kita ? Mudah-mudahan, kita tidak terus meneropong benda-benda langit dengan teropong emas, tetapi memperhatikan tingkahlaku di sekitar kita, termasuk dari dunia binatang yang hutannya rusak di mana-mana. Mudah-mudahan, ini tidak malah membingungkan. Selamat membaca (kembali).
Daniel Setyo Wibowo