Mohon tunggu...
Daniel SetyoWibowo
Daniel SetyoWibowo Mohon Tunggu... Tutor - Tutor kelompok belajar anak-anak

Seorang warga negara Indonesia yang mau sadar akan kewarganegaraan dengan segala ragam budaya, agama, aliran politik, sejarah, pertanian / kemaritiman tetapi dipersatukan dalam semangat nasib dan "imagined communities" yang sama Indonesia tetapi sekaligus menjadi warga satu bumi yang sama.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Resensi "Esai-esai Nobel Ekonomi"

19 Juli 2019   13:40 Diperbarui: 19 Juli 2019   15:36 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri
dokpri

Kalau dipikir sedikit saja, jawaban ini justru lebih membingungkan lagi. Perekonomian dilihat sebagai sesuatu hal yang alamiah sehingga mematuhi hukum-hukum alam / fisika. Ia bukan pilihan-pilihan bebas manusia (Sebenarnya pilihan bebas pemegang kekuasaan termasuk ekonomi, tetapi supaya "aman" di mata khalayak maka disamarkan ke dalam hukum alam)

Kalaupun disamakan dengan pendulum atau bandul yang berayun, maka ada yang menggerakkan yaitu gaya kinetik pegas atau gaya yang diberikannya lewat cara diayunkan pertama kalinya. Gaya kinetik melalui pegas itu diputar atau dikeraskan karena energi yang diberikan oleh manusia karena manusia ingin bandul itu berayun atau tidak. Yang menentukan adalah manusia. Jadi, ini pilihan-pilihan bebas manusia.

Dan siapa manusia yang memutar atau mengencangkan pegas itu ? Bukan kekuatan gaib atau hukum alam atau gaya gravitasi. Tetapi manusia yang memiliki dan menguasai bandul itu. Jadi, bandul itu mau berayun atau tidak itu tergantung pada manusia yang menguasainya. Tidak masalah berayun ke kiri atau ke kanan (tanpa pretensi kapitalis atau sosialis) atau jatuh ke bawah, karena memang tidak perlu dipermasalahkan lagi karena memang hukum alam, seperti gaya gravitasi.

Tentu, hukum alam tidak mengenal kapitalis atau sosialis. Jadi, jawaban-jawaban seperti itu lebih membingungkan lagi kecuali bagi si pelontarnya sendiri yang sebenarnya mempunyai jawaban-jawaban tersembunyi yang tidak boleh diketahui publik kecuali dirinya sendiri.

Untungnya

Untungnya, ada sosok seperti Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti yang memberi pengantar kritis dalam kaitannya antara pemikiran pemenang Nobel ekonomi (sebagian besar berasal dari negara-negara G-7) dengan perekonomian kita. Mudah-mudahan justru tidak malah membingungkan.

Menurutnya, ada tiga basis teori yang diajukan untuk memahami perkembangan pemikiran ekonomi, yaitu yang dikemukakan oleh George Wilhelm Friedrich Hegel, Thomas Khun, dan kelompok pakar Marx-Engels (Marxian, Pasca-Marxian, Neo-Marxian).

Hegel menawarkan these-antithese-sinthese. Jadi, bila mengikuti Hegel, pemikiran ekonomi (yang dimunculkan dan ditandai dengan Nobel Ekonomi ini) itu berkembang melalui proses dialektika sintesis, antitesis, dan sintesis.

Namun, tidak demikian bila dilihat dari kaca mata Marxian. Dialektika yang ditawarkan Hegel itu hanya berupa ide melulu. Padahal, dialektika yang terjadi itu sebenarnya bukan ide tetapi hal-hal materi : ekonomi sebagai basisnya (bangunan bawah) dan bukan ideologi atau agama yang merupakan bangunan atas. Dialektikanya adalah dialektika materialisme.

Lain lagi dengan Thomas Khun. Perubahan pengetahuan (pemikiran ekonomi dalam hal ini) atau bahkan "revolusi" pengetahuan terjadi karena adanya "pergeseran paradigma" (paradigm shift) yang berlangsung secara mendadak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun