Mohon tunggu...
Daniel SetyoWibowo
Daniel SetyoWibowo Mohon Tunggu... Tutor - Tutor kelompok belajar anak-anak

Seorang warga negara Indonesia yang mau sadar akan kewarganegaraan dengan segala ragam budaya, agama, aliran politik, sejarah, pertanian / kemaritiman tetapi dipersatukan dalam semangat nasib dan "imagined communities" yang sama Indonesia tetapi sekaligus menjadi warga satu bumi yang sama.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Resensi "Esai-esai Nobel Ekonomi"

19 Juli 2019   13:40 Diperbarui: 19 Juli 2019   15:36 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menarik membaca perkembangan pemikiran ekonomi dan dinamika internalnya; apalagi dinamika pemikiran sekelas pemenang Nobel di bidang ekonomi dari tahun ke tahun. Alasannya, kita diajak melihat pasang surutnya pemikiran ekonomi disamping kondisi konkrit sehari-hari yang terjadi dalam sistem perekonomian yang lebih besar.

Kita seperti diajak meneropong benda-benda langit dan geraknya dengan teropong bintang emas seperti dilakukan Raja Dabschelim dalam cerita kuno Kalila dan Dimna yang berhadapan dengan Dr Bidpai yang justru tertarik dengan kisah-kisah kehidupan di sekitarnya yang diambil dari dunia dan kerajaan binatang yang tidak habis-habisnya memberi banyak makna kehidupan.

Kadang pemikiran-pemikiran yang disampaikan  dianggap baru karena membantah pemikiran sebelumnya (antithese). Kadang pemikiran lama dan sudah dilupakan muncul kembali dengan bentuk-bentuk barunya. Kadang terjadi perpaduan (sinthese) antara dua pemikiran yang saling bertentangan. Kadang kita dibuat terheran-heran karena awalnya merupakan pemikiran sederhana namun melesat menjadi pemikiran yang rumit seperti ekonofisika.

Kadang berangkat dari asumsi-asumsi anak-anak seperti permainan (homo ludens : manusia adalah makhluk bermain) lantas dipertajam menjadi 'game theory' (salah satunya 'zero sum game'). Kadang pemikiran pemenang Nobel di bidang ekonomi justru yang melawan arus utama (meanstream) atau bahkan tradisi panita Nobel Ekonomi sendiri.

Kadang di saat praktek ekonomi arus utama menekankan pendapatan, pertumbuhan, dan kekayaan, justru penganugerahan Nobel ekonomi malah diberikan kepada sosok yang lebih membela kaum papa seperti Amartya Sen.

Kadang dimunculkan pula pemenang yang semula ikut 'berpesta' di dalamnya seperti World Bank atau IMF atau Konsensus Washington, tiba-tiba "bertobat" dan mengkritik lembaga-lembaga yang dulu pernah dinikmatinya juga, seperti Joseph E. Stiglitz. Dengan demikian, tentu nama World Bank, IMF, atau Konsensus Washington tidak terlalu negatif amat dan tidak kehilangan muka, karena ternyata ada "orang dalam" sendiri yang mengkritiknya bahkan melawan dari dalam.

Semuanya seperti benda-benda langit dan geraknya yang kadang kita bisa memanfaatkan untuk kepentingan "rasa ingin tahu" kita dengan meramal seperti dilakukan astrologi dalam bidang keuangan atau moneter atau IHSG. Semuanya seperti benda-benda langit yang bersinar dan kadang bersinar sekali dan bergerak melesat, tetapi lalu mati (meteor).  

Lebih menarik lagi, bila setelah membaca cermat pemikiran-pemikiran tersebut lantas melihat kondisi perekonomian di sekitar kita sendiri seperti dilakukan Dr. Bidpai yang menceritakan cerita-cerita dari kerajaan binatang. Termasuk di dalamnya melihat sistem, struktur, pola-pola hubungan; misalnya seperti masyarakat / "ekonomi dualistik" yang dikemukakan J. H. Boeke jauh-jauh hari; juga perlu melihat pernyataan-pernyataan para komisaris-komisaris yang merangkap dosen universitas atau lembaga penelitian sekaligus konsultan negara dan selalu mengincar posisi di lingkungan kementerian juga sekaligus berperan pengamat ekonomi yang mengaduk-aduk pemikiran publik sehingga tidak jernih lagi dan konsentrasi masyarakat sebagai kesatuan terpecah yang pada akhirnya memudahkan untuk dikuasainya; tentu juga perlu melihat perekonomian yang dipraktekkan konkrit oleh para petani, nelayan, bakul, sopir bis, dan sebagainya; juga termasuk di dalamnya pernyataan-pernyataan eksplisit dalam UUD 1945 yang sering kita dengar sebagai ekonomi Pancasila, ekonomi kerakyatan.

Lantas, jawaban yang muncul segera adalah : menarik, tetapi lumayan membingungkan! Supaya tampak tidak membingungkan, para pembela ekonomi neo-liberalis senior yang seakan-akan berdiri menonjol di barisan nasionalis dekat presiden ini dan presiden itu  karena banyak memperoleh keuntungan dan tidak mau resiko, selalu memberi jawaban dengan konsep keseimbangan : yaitu dengan perumpamaan pendulum yang berayun ke kanan (dipersepsikan sebagai kapitalistik) dan ke kiri (dipersepsikan sebagai sosialis). Dan karena itu perlu "keseimbangan". Ini mirip tetapi berbeda jauh dengan konsep keseimbangkan yang diturunkan dan diajarkan kebijaksanaan baik Yunani kuno (oikos dan nomos) maupun Jawa. Mungkin keseimbangan yang dimaksud dalam ekonomi tersebut  lebih cocok dibandingkan dengan konsep dan hukum-hukum fisika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun