Tahun ini merupakan awal-awal  berdirinya Orde Baru meskipun pemilu diadakan pada tahun 1971(sebenarnya penundaan dari jadwal semula 5 Juli 1968 oleh MPRS sehingga kekuasaan / senjata mengukuhkan dirinya sendiri hingga beberapa tahun dan konsekuensi di tahun-tahun berikutnya.).
Mengingat penerbitannya sudah lama, lantas apakah ini aktual untuk masa kini ? Tidak ketinggalan zaman ? Mungkin. Tapi, mengingat sastra kita tertinggal jauh dari bidang-bidang lain dan budaya membaca kita yang masih memprihatinkan, maka buku ini tetap berbicara lantang.
Buku yang berupa diskusi ini, dibagi dalam tiga bagian besar yang masing-masing terdiri dari beberapa tulisan. Bagian pertama berupa prasaran, bandingan, dan tanggapan.Â
Bagian ini sebenarnya yang menjadi utama buku ini yang diambil dari suatu diskusi 31 Oktober 1968. Sementara dua bagian lainnya merupakan latar depan dan latar belakang diskusi tersebut. Bagian kedua merupakan suatu reaksi berlanjut setelah forum diskusi usai.Â
Tanggapan itu dinyatakan dalam beberapa majalah dan surat kabar, seperti Horison, Mingguan Angkatan Bersenjata, Sinar Harapan, Indonesia Raya, dan Budaya Jaya (Bandung).
Bagian ketiga sebenarnya merupakan latar belakang sebelum pandangan-pandangan tentang kritik sastra dipertemukan dalam diskusi tahun 1968 itu. Tulisan-tulisan ini dimuat juga dalam beberapa majalah atau surat kabar, seperti Indonesia dan Horison.
Membaca buku ini seperti kita membaca sejarah kritik sastra Indonesia. Model kritik sastra di Indonesia sebenarnya banyak dilakukan H.B. Jassin sehingga ia dinobatkan sebagai "Paus Sastra Indonesia" oleh Gajus Siagian (?) seperti ditulis Goenawan Mohamad (hal. 49).
Metode Ganzheit
Arief Budiman dan Goenawan Mohamad jelas berpendirian bahwa sastra perlu didekati dengan apa yang dalam Psikologi Gestalt disebut dengan Ganzheit. Kritik sastra perlu menggunakan 'metode' atau lebih tepatnya suatu sikap.Â
Dalam Psikologi Gestalt, suatu keseluruhan atau totalitas itu memiliki kualitas baru yang tidak sama dengan jumlah semua elemen-elemennya. Elemen-elemen itu ditentukan oleh totalitas dan bukan sebaliknya.
 Lalu, apa itu metode Ganzheit itu ? Arief Budiman menjawab bahwa metode itu merupakan proses partisipasi aktif dari sang kritikus terhadap karya seni yang dihadapinya. Mula-mula tanpa konsepsi a priori apapun juga, sang kritikus membiarkan karya seninya secara merdeka berbicara sendiri. Kemudian terjadilah sebuah dialog, sebuah pertemuan, sebuah interferensi dinamis antara kedua subyek yang hidup dan merdeka. Sebenarnya, hal ini lebih ke  arah sikap hidup ketimbang metode dari suatu ilmu.
Lalu bagaimana dengan metode analitis yang sering kali dipakai oleh para sarjana sastra dalam menganalisis suatu karya sastra ? Bagaimanapun juga penilaian karya sastra, perlu 'obyektivitas'. Hal ini lebih jelas lagi dalam tulisan J.U. Nasution berjudul Pendirian Atas Pendirian Tentang Kritik Sastra bahwa kritik sastra itu termasuk ilmu meskipun tidak seperti ilmu alamiah (science), karena itu kaidah-kaidah tetap diperlukan.