Mohon tunggu...
Daniel SetyoWibowo
Daniel SetyoWibowo Mohon Tunggu... Tutor - Tutor kelompok belajar anak-anak

Seorang warga negara Indonesia yang mau sadar akan kewarganegaraan dengan segala ragam budaya, agama, aliran politik, sejarah, pertanian / kemaritiman tetapi dipersatukan dalam semangat nasib dan "imagined communities" yang sama Indonesia tetapi sekaligus menjadi warga satu bumi yang sama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Maling Genthiri dan Maling Genthoro (4)

2 Juli 2019   08:15 Diperbarui: 2 Juli 2019   08:46 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Sadar akan penting dan urgennya informasi yang didapat dari penyelidikan teliti itu, Maling Genthiri tahu bahwa dirinya tidak boleh diam saja menonton dan tidak mengambil peran. Ia harus memberitahu Raja. Ini kewajibannya membela tanah airnya. Tapi, ini juga mengandung resiko besar. Banyak orang-orang di sekeliling Raja juga terlibat dalam persekongkolan itu. Salah-salah, ia akan dibunuh. Tapi, mati sekarang atau mati nanti, sama saja. Yang penting ia tidak suka akan ketidakadilan dan cinta akan kebenaran. Ia tidak ingin mengabdi pada dua tuan, dengan tidak bertindak atau mengulur-ulur waktu. Ia pun tidak ingin merengkuh keduanya dengan dalih berdiri di tengah-tengah: setuju atau diam dengan ketidakadilan tetapi sekaligus mendukung dan berkoar-koar tentang  keadilan. Suka akan kebohongan sekaligus cinta pada kebenaran. Itulah yang banyak disalah-mengertikan sekaligus banyak dipraktekkan tentang  kebijaksanaan duniawi, sophia. Menyatakan salah sekaligus benar. Kaki kiri berjalan ke barat, kaki kanan berjalan ke timur pada saat yang sama.

            Dengan segala keberanian yang dikumpulkan dari kepingan-kepingan pengalaman akan kelaparan, refleksi, dan ketekunan, Maling Genthiri menghadap Raja. Ia bermaksud memberitahu Raja. Tapi, bagaimana orang kecil seperti dirinya bisa menghadap Raja? Bukankah di seputar istana itu bergerombol juga  combe 13) informasi yang banyak mengambil untung hanya dengan omongan manis?

            Pokoknya, ia harus bisa menembus para combe itu. Tapi, apakah ia akan dipercaya karena sistem dan prakteknya sudah demikian ? Ia tidak ambil pusing. Ketidakadilan berlangsung di depan matanya. Tidak bisa dibiarkan. Ia harus menyelamatkan keadaan, sekalipun dianggap dan dicap gila. Ia tidak ingin berpura-pura menyelamatkan. Ia tidak mau berpura-pura muncul menjadi pahlawan setelah semuanya hancur berantakan karena kekerasan hanya untuk menyelamatkan diri sendiri dan mempertahankan serta meraih jabatan orang-orang mulia. Maling Genthiri juga tidak ingin berpura-pura khawatir akan adanya bahaya padahal bahaya itu direkayasanya sendiri untuk menghantam lawan dan mencari posisi seperti kerjaan telik sandi menurut cerita kawannya.

            Maling Genthiri pernah diajak ayahnya menjual sapi di pasar hewan. Di pasar banyak dikelilingi para blantik dhadhung 14) dan combe. Ayahnya selalu bisa berkelit dari makelar ini dan menemukan pembeli sungguhan justru dalam kondisi informasi harga yang memang dibuat bias.

            Cara kerja makelar ini pernah dijelaskan oleh ayahnya berdasarkan informasi yang sengaja dibelak-belokkan. Dan itu sangat beragam. Sehingga, dengan kisaran informasi yang bias itu dapat ditarik selisih, dan itulah keuntungannya. Semakin wilayah kisaran itu besar, maka semakin untunglah dia. Caranya antara lain memainkan persepsi, emosi, daya tarik, cacat-cacat jiwa, nafsu, ketergesa-gesaan, dan sebagainya yang mempengaruhi putusan dan keyakinan seseorang. Tapi, jenis ini tidak bekerja sendirian dan ia tidak bisa hidup sendirian. Ia selalu menempel dan menghisap pada informasi terpercaya yang menjadi inangnya.

            "Yang penting kamu harus sadar akan situasi itu. Kamu harus yakin pada akal sehat dan nuranimu yang bisa dipertajam dalam latihan cegah dhahar kalawan guling. Yang penting kamu tetap dalam kondisi eling lan waspada tetapi tidak kaku," kata ayahnya seperti dikenang Maling Genthiri.

            Meskipun tidak sepintar ayahnya dalam mengatasi hal-hal semacam ini, ia mulai mempraktekkan strategi-strategi ayahnya. Pada akhirnya, ia bisa melampaui para combe dan bertemu dengan Raja sendiri.

            "Hormat tuanku Raja, hambamu Maling Genthiri menghadap hendak menyampaikan kabar penting untuk keselamantan tuanku. Mohon maaf bila tidak mematuhi protokoler," ucap Maling Genthiri tanpa dibuat-buat sopan.

"Hal penting apakah gerangan sehingga kau melupakan aturan dan kesopanan istana ? Apakah lebih penting dari nyawamu sendiri ?" tanya Raja.

"Ya, tuanku, kami pertaruhkan nyawa kami untuk dapat menyampaikan pesan ini," tutur Maling Genthiri.

"Baik. Katakan !" perintah Raja.

"Akan ada suksesi berdarah nanti malam, Tuanku. Itu dilakukan Patih. Ia sudah mempersiapkan secara matang dan rapi," kata Maling Genthiri tenang.

"Ha...ha...ha...Nanti malam itu ada perjamuan makan. Bukan suksesi apalagi berdarah. Jadi, kamu salah !" kata Raja enteng meskipun tampak tergetar.

"Siapa yang mengadakan perjamuan itu, tuanku ?" tanya Maling Genthiri.

"Patih," jawab Raja.

"Justru kesempatan itulah yang dipakai Patih untuk melancarkan rencana suksesinya," kata Maling Genthiri. Kemudian, ia menceritakan semua hal yang diketahui dalam penyelidikan dari awal sampai akhir.

"Tampaknya masuk akal cerita itu. Tapi saya tidak mau gegabah. Kalau ada apa-apa, biarlah resikonya ditanggung si pemuda ini. Kalau pesan itu benar, maka saya akan selamat," pikir Raja.

"Tuduhan kamu tidak berdasar. Fitnah !  Apa taruhanmu bila kau salah? Lagian, saya tidak kenal engkau. Saya memang pernah dengar kisahmu bagaimana kau makan makanan babi. Seperti babi, kamu juga tidak bisa dipercaya !" kata Raja.

"Memang benar tuanku, hamba tidak patut dipercaya. Tapi, ayah kami mempercayai kami begitu rupa sehingga kami tidak bisa melupakan Beliau sama sekali dalam menuntun pikiran, perkataan, dan tingkah laku kami," kata Maling Genthiri disambung dengan kisah bagaimana karena lapar ia datang kepada ayahnya dan ayahnya justru menyematkan cincin di jemarinya. Raja mulai tersentuh.

"Saya raja kamu. Saya penguasa kamu bukan ayah kamu. Saya tetap minta jaminan apa yang kamu katakan memang benar," kata Raja.

"Dari awal kami sudah menyatakan bahwa taruhan kami adalah nyawa kami. Kami rela dipenggal kepala kami, jika apa yang kami sampaikan ternyata salah," kata Maling Genthiri.

            Raja mulai melihat niat baik, tekad, dan kepintaran pemuda ini. "Baiklah kamu boleh pergi. Sebelum kamu pergi kamu boleh makan di sini terlebih dulu" kata Raja. "Terimakasih Tuanku," kata Maling Gendthiri. 

            Sesudah makan, ia  pun segera berpamitan untuk melaksanakan pesan ayahnya kembali : Tinimbang turu aluwung melek; tinimbang thenguk-thenguk aluwung kluyar-kluyur. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun