Manusia sangat mendambakan kesenangan dan kehidupan yang dramatis. Karenanya, jika ia tidak bisa memperoleh kepuasan yang lebih tinggi, ia akan menciptakan drama kedestruktifan untuk dirinya sendiri." Erich Fromm
Filsuf abad pencerahan Prancis P.H.D. d'Holbach (1822) mengatakan, "Un homme sans passions or cesserait d'etre un homme." Manusia tanpa hasrat atau keinginan bukan lagi manusia. Mungkin pendapat filsuf Prancis itu seakan memberi kesan kuat pada keseluruhan karya seorang psikoanalisis ternama Erich Fromm berjudul Akar Kekerasan. Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia.
Intinya, akar kekerasan, kekejaman, dan kekuatan destruktif itu berasal dari hasrat dan keinginan manusia itu sendiri. Itulah yang disebut Erich Fromm sebagai fitrah manusia yang kedua di samping fitrah manusia yang lainnya yang lebih utama, yaitu insting bertahan hidup. Fitrah kedua ini dampaknya luar biasa, jauh lebih dahsyat dari pada fitrah pertama.
Lantas, bagaimana meminimanilisasi kekejaman manusia dan meningkatkan kerjasama dan berbagi rasa seperti telah dialami manusia dalam masa prasejarah? Inilah menariknya buku ini, yakni memberi jawaban-jawaban yang tidak saja rasional dan mendasar seperti yang ingin dicapai para filsuf semacam Heidegger atau Jean-Paul Sartre, tetapi juga tampak lebih realistik dan empirik.
Intinya : akar kekerasan, kekejaman, dan kekuatan destruktif itu berasal dari hasrat dan keinginan manusia itu sendiri.
Uniknya, ini dilakukan justru dalam perspektif lintas disiplin. Padahal, proyek seperti dilakukan Erich Fromm seperti itu justru banyak dihindari oleh profesional (ilmuwan). Namun, apa yang banyak dihindari kalangan akademisi itu justru dimasuki sosok Erich From dengan gairah yang luar biasa. Mungkin ini suatu kelemahan, tetapi sekaligus juga keberanian yang mencengangkan.
Ia tidak berkutat pada keahlian psikoanalisisnya semata, tetapi jauh menyeberang ke neurofisiologi, psikologi binatang, paleontologi, dan antropologi. Akibatnya, Erich Fromm memberi wawasan kepada pembacanya sebagai suatu wawasan global. Sudut pandangnya tidak tunggal dari satu macam disiplin ilmu.
Cinta Kehidupan
Lantas, jawaban apa yang diperoleh baik oleh Erich Fromm maupun pembacanya dari cara kerja semacam itu? Yaitu, suatu sikap. Sikap yang bagaimana yang diharapkan? Dalam epilognya berjudul "Mengenai Ambiguitas Harapan", Erich Fromm menjawab dengan tegas, "pemikiran kritis dan radikal hanya akan membuahkan hasil bila dipadukan dengan sifat manusia yang paling mulia -- cinta kehidupan."Â
Sementara sikap optimis atau pesimis jauh berbeda. Optimisme adalah bentuk lain dari kepercayaan sedangkan pesimisme bentuk lain dari keputusasaan. "Padahal, sikap kebanyakan manusia tidak tertuju kepada kepercayaan atau keputus asaan rasional tadi, namun kepada ketidakpedulian terhadap masa depannya," tegas Erich Fromm.
"Pemikiran kritis dan radikal hanya akan membuahkan hasil bila dipadukan dengan sifat manusia yang paling mulia -- cinta kehidupan."
Bagaimana kesimpulan semacam itu bisa dipahami sebagai jalan keluar? Ini lebih menarik lagi dalam buku ini. Jawabannya diletakkan dalam struktur motivasi manusia itu sendiri. Jadi, kekejaman dan kedestruktifan manusia itu dapat diminimalisasikan lewat motivasinya. Berarti, ini suatu langkah yang banyak dikenal sebagai langkah pemurnian motivasi.
Ini dikemukakan Erich Fromm justru di tengah-tengah situasi dewasa kini di mana eksploitasi dan manipulasi terjadi di mana-mana. Hal ini menimbulkan kejenuhan dan ketakberdayaan sehingga mengerdilkan manusia.
Padahal, faktor-faktor itulah yang justru akan menjadikan seseorang sebagai orang sadis dan destruktif. Lebih mengkhawatirkan lagi dalam masyarakat dewasa kini, kekejaman, kekerasan justru berskala besar dan mengemuka seiring dengan perkembangan peradaban dan peranan kekuasaan.
Kekhawatiran itu bukannya berlebihan karena dalam sejarah ditunjukkan akibat-akibat kekejaman seperti perang dan berbagai kejahatan. Jadi, itu nyata. Dengan meneliti tiga tokoh seperti Stalin, Himmler, dan Hitler, justru Erich Fromm menunjukkan atau membuktikan kebenaran analisisnya.
Jawaban yang diberikan Erich Fromm memang gamblang. Kejelasan yang demikian itu, tentu dihasilkan dari pembedaan-pembedaan yang jernih atas konsep-konsep atas agresi yang dipegang selama ini.
Di satu sisi, konsep bahwa agresi itu memang insting bawaan. Salah satu tokohnya adalah Konrad Lorenz dalam On Agression (1966). Di sisi lain, konsep behaviorisme atau neo behaviorisme diwakili antara lain oleh Skinner.
Agresi
Menurut Erich Fromm, ada dua jenis agresi yang perlu dibedakan. Yang pertama, agresi karena desakan untuk melawan (atau melarikan diri) yang telah terprogram secara filogenetik sewaktu kepentingan hayatinya terancam. Ini tidak saja milik khas manusia, tetapi juga dalam diri binatang. Agresi jenis ini disebutnya sebagai "agresi lunak".
Yang kedua, yaitu yang disebut "agresi jahat" berupa kekejaman dan kedestruktifan manusia. Jenis ini tidak ditemukan dalam binatang. Ini menjadi milik khas manusia. Ini tidak memiliki tujuan dan muncul karena dorongan nafsu belaka. Manusia justru merayakan kepuasan dalam melakukannya.
 Yang kedua, yaitu yang disebut "agresi jahat" berupa kekejaman dan kedestruktifan manusia. Jenis ini tidak ditemukan dalam binatang. Ini menjadi milik khas manusia. Ini tidak memiliki tujuan dan muncul karena dorongan nafsu belaka. Manusia justru merayakan kepuasan dalam melakukannya.
Dari pembedaan itu, kita diajak lebih jauh menukik ke pembedaan yang lebih mendasar, yaitu antara insting dan karakter atau antara kebutuhan fisiologis (dorongan organik) dan hasrat manusia yang berakar dari karakter (hasrat manusia). Insting adalah fitrah pertama, sedangkan karakter adalah fitrah kedua.
Penghayatan Hidup
Yang termasuk dalam fitrah kedua itu antara lain keinginan untuk mendapatkan cinta, kelembutan hati, dan kebebasan serta keinginan untuk melakukan tindak destruktif, sadis, masokis, dan keinginan untuk memiliki kekuasaan dan hartrah manusia. Semua ini hanya bisa dipahami sebagai upaya penghayatan hidup dan bukan sekedar bertahan hidup (insting).
Lantas, ini membawa pertanyaan mendasar, yaitu apa itu fitrah manusia itu? Apakah yang menjadikannya dinyatakan sebagai manusia? Itulah proyek besar Erich Fromm yang ingin dijawab bukan misalnya dengan gagasan eksistensialisme yang digarap oleh misanya Heidegger atau Sartre. Erich Fromm mendasarkan proyeknya pada landasan teoritik empirik.
Buku ini sangat tebal dengn bukan saja uraian-uraian yang mendetail tetapi mempunyai basis toritis yang sangat kuat. Contoh-contoh kasus yang diberikan misalnya tingkah laku binatang, data-data antropologi, bukti-bukti sejarah para tokoh seperti Hitler, Stalin, Himmler, mendukung hipotesisnya sehingga kita dibuat manggut-manggut. Tidak membuat ngantuk dan enak dibaca karena menantang manusia untuk berpikir dan merefleksikan dirinya. Selamat membaca (kembali)...
Daniel Setyo Wibowo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H