Kekhawatiran itu bukannya berlebihan karena dalam sejarah ditunjukkan akibat-akibat kekejaman seperti perang dan berbagai kejahatan. Jadi, itu nyata. Dengan meneliti tiga tokoh seperti Stalin, Himmler, dan Hitler, justru Erich Fromm menunjukkan atau membuktikan kebenaran analisisnya.
Jawaban yang diberikan Erich Fromm memang gamblang. Kejelasan yang demikian itu, tentu dihasilkan dari pembedaan-pembedaan yang jernih atas konsep-konsep atas agresi yang dipegang selama ini.
Di satu sisi, konsep bahwa agresi itu memang insting bawaan. Salah satu tokohnya adalah Konrad Lorenz dalam On Agression (1966). Di sisi lain, konsep behaviorisme atau neo behaviorisme diwakili antara lain oleh Skinner.
Agresi
Menurut Erich Fromm, ada dua jenis agresi yang perlu dibedakan. Yang pertama, agresi karena desakan untuk melawan (atau melarikan diri) yang telah terprogram secara filogenetik sewaktu kepentingan hayatinya terancam. Ini tidak saja milik khas manusia, tetapi juga dalam diri binatang. Agresi jenis ini disebutnya sebagai "agresi lunak".
Yang kedua, yaitu yang disebut "agresi jahat" berupa kekejaman dan kedestruktifan manusia. Jenis ini tidak ditemukan dalam binatang. Ini menjadi milik khas manusia. Ini tidak memiliki tujuan dan muncul karena dorongan nafsu belaka. Manusia justru merayakan kepuasan dalam melakukannya.
 Yang kedua, yaitu yang disebut "agresi jahat" berupa kekejaman dan kedestruktifan manusia. Jenis ini tidak ditemukan dalam binatang. Ini menjadi milik khas manusia. Ini tidak memiliki tujuan dan muncul karena dorongan nafsu belaka. Manusia justru merayakan kepuasan dalam melakukannya.
Dari pembedaan itu, kita diajak lebih jauh menukik ke pembedaan yang lebih mendasar, yaitu antara insting dan karakter atau antara kebutuhan fisiologis (dorongan organik) dan hasrat manusia yang berakar dari karakter (hasrat manusia). Insting adalah fitrah pertama, sedangkan karakter adalah fitrah kedua.
Penghayatan Hidup
Yang termasuk dalam fitrah kedua itu antara lain keinginan untuk mendapatkan cinta, kelembutan hati, dan kebebasan serta keinginan untuk melakukan tindak destruktif, sadis, masokis, dan keinginan untuk memiliki kekuasaan dan hartrah manusia. Semua ini hanya bisa dipahami sebagai upaya penghayatan hidup dan bukan sekedar bertahan hidup (insting).
Lantas, ini membawa pertanyaan mendasar, yaitu apa itu fitrah manusia itu? Apakah yang menjadikannya dinyatakan sebagai manusia? Itulah proyek besar Erich Fromm yang ingin dijawab bukan misalnya dengan gagasan eksistensialisme yang digarap oleh misanya Heidegger atau Sartre. Erich Fromm mendasarkan proyeknya pada landasan teoritik empirik.
Buku ini sangat tebal dengn bukan saja uraian-uraian yang mendetail tetapi mempunyai basis toritis yang sangat kuat. Contoh-contoh kasus yang diberikan misalnya tingkah laku binatang, data-data antropologi, bukti-bukti sejarah para tokoh seperti Hitler, Stalin, Himmler, mendukung hipotesisnya sehingga kita dibuat manggut-manggut. Tidak membuat ngantuk dan enak dibaca karena menantang manusia untuk berpikir dan merefleksikan dirinya. Selamat membaca (kembali)...
Daniel Setyo Wibowo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H