Mohon tunggu...
Daniel Mashudi
Daniel Mashudi Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer

https://samleinad.com E-mail: daniel.mashudi@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Perginya Sang "Ambyarsador" of Broken Heart

5 Mei 2020   21:57 Diperbarui: 5 Mei 2020   22:27 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari yang berat sedang dilalui. Pandemi telah mengubah banyak hal dalam hidup. Ada yang bisa bertahan, namun tak sedikit yang bertumbangan.

Pertengahan Februari lalu saya sempat mudik ke kampung halaman. Melepas kangen, bertemu Bapak, saudara, dan kerabat lain. Sebelum kembali lagi ke Tangerang, saya sudah menyempatkan diri memesan tiket kereta untuk mudik lebaran.

Bulan Maret, kasus pertama Covid-19 di negeri ini diumumkan. Kepanikan mulai terjadi. Masker, penyatisasi tangan, dan beberapa barang lainnya mulai naik harga, bahkan sulit didapatkan.

Perlahan, perubahan mulai terjadi. Pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan untuk menghambat penyebaran pandemi. Pergerakan orang dibatasi. Social distancing, physical distancing, work from home, menjadi frasa-frasa popular.

Berbagai profesi terkena dampak. Buruh pabrik, karyawan kantor, pengemudi ojek daring, dan yang lainnya tidak bisa bekerja seperti sebelumnya. Pun saya sebagai freelancer, mengalami hal yang sama. Penghasilan berkurang.

Pandemi menjadi ujian terberat, khususnya bagi umat yang tengah menjalankan puasa Ramadan tahun ini. Di tengah kondisi yang tidak mudah, untungnya masyarakat saling menguatkan. Menghibur satu dengan yang lain. Semua akan baik-baik saja, meski sedang tidak baik-baik saja.

Banyaknya waktu luang di rumah, bermacam kegiatan dilakukan untuk membunuh rasa jenuh. Menonton serial film, membaca buku, streaming musik, dan lainnya.

Pemerintah kemudian mengeluarkan larangan mudik lebaran. Saya juga menyetujuinya, demi kebaikan bersama. Tiket kereta yang sudah dipesan, harus dibatalkan. Tidak ada lagi mudik lebaran tahun ini untuk melepas kangen bertemu keluarga di kampung halaman, bertemu teman-teman, atau menengok makam ibu.

Sejak merantau tahun 1997, saya belum pernah sekali pun melewatkan mudik lebaran. Termasuk saat krisis 1998 yang lalu. Pulang ke kampung halaman adalah tradisi tahunan yang terus saya lakukan. Sayang sekali, rekor tersebut terputus pada musim ini.

Tentulah sangat berat menahan kangen. Kangen ibarat bom waktu. Kangen ibarat pisau yang bisa membunuh diri sendiri.

Menghibur diri dengan mendengarkan musik dan lagu menjadi cara meredam rindu. Juga melepas sejenak beban berat akibat pandemi. Lagu Didi Kempot mulai mengisi ruang pendengaran. Lirik-lirik Kagem Ibu bahkan sempat membuat saya larut dalam haru, hingga meneteskan air mata.

Ibu sing wis nuntun uripku, sing nresnani aku saking suku tekane rambutku
Ibu ora kendhat ndongaku, aku ra lali wektu terus yen isih ono nyawaku
Tak eling tresno lan ngendikamu sing gawe tentrem batinku

Menikmati lagu-lagu campursari dari Didi Kempot setidaknya bisa membuat saya lebih rileks. Ada semacam energi yang bisa membuat saya lebih tegar di tengah pandemi ini. Di saat hidup yang seakan-akan ambyar, namun semangat tidak boleh hilang.

Lagu-lagu Didi Kempot mengena di hati, menjadi ambassador bagi orang-orang yang tetap terus mencoba menyungging senyum dalam kenelangsaan hati.

Beberapa lagu dari The Godfather of Broken Heart tersebut seperti Ora Bisa Mulih dan Pamer Bojo bahkan saya kutip lirik-liriknya, dan menyematkannya di beberapa tulisan di blog ini sebelumnya.

Innalillahi wa innailaihi rojiun

Selasa pagi berbagai group WA yang saya ikuti mengabarkan berita dukacita. Sangat mengejutkan. Hampir tak percaya rasanya, mendengar Didi Kempot berpulang.

Saya segera menyalakan televisi, mengikuti siaran breaking news yang mengabarkan secara langsung peristiwa dukacita tersebut. Mulai dari Rumah Sakit Kasih Ibu di Solo tempat almarhum Didi Kempot menghembuskan nafas terakhir, hingga pemakaman di Ngawi, Jawa Timur sekitar jam 2-3 sore tadi.

Kepergian Didi Kempot menjadi hal berat, selain pandemi yang harus dihadapi saat Ramadan kali ini. Saat menulis ini, saya sambil mendengarkan lagu-lagu amarhum dan membayangkan wajahnya yang bersahaja.

Selamat jalan, Mas Didi Kempot, sang 'ambyarsador' of broken heart.
Semoga amal dan kebaikanmu diterima oleh Yang Maha Kuasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun