Ibu sing wis nuntun uripku, sing nresnani aku saking suku tekane rambutku
Ibu ora kendhat ndongaku, aku ra lali wektu terus yen isih ono nyawaku
Tak eling tresno lan ngendikamu sing gawe tentrem batinku
Menikmati lagu-lagu campursari dari Didi Kempot setidaknya bisa membuat saya lebih rileks. Ada semacam energi yang bisa membuat saya lebih tegar di tengah pandemi ini. Di saat hidup yang seakan-akan ambyar, namun semangat tidak boleh hilang.
Lagu-lagu Didi Kempot mengena di hati, menjadi ambassador bagi orang-orang yang tetap terus mencoba menyungging senyum dalam kenelangsaan hati.
Beberapa lagu dari The Godfather of Broken Heart tersebut seperti Ora Bisa Mulih dan Pamer Bojo bahkan saya kutip lirik-liriknya, dan menyematkannya di beberapa tulisan di blog ini sebelumnya.
Innalillahi wa innailaihi rojiun
Selasa pagi berbagai group WA yang saya ikuti mengabarkan berita dukacita. Sangat mengejutkan. Hampir tak percaya rasanya, mendengar Didi Kempot berpulang.
Saya segera menyalakan televisi, mengikuti siaran breaking news yang mengabarkan secara langsung peristiwa dukacita tersebut. Mulai dari Rumah Sakit Kasih Ibu di Solo tempat almarhum Didi Kempot menghembuskan nafas terakhir, hingga pemakaman di Ngawi, Jawa Timur sekitar jam 2-3 sore tadi.
Kepergian Didi Kempot menjadi hal berat, selain pandemi yang harus dihadapi saat Ramadan kali ini. Saat menulis ini, saya sambil mendengarkan lagu-lagu amarhum dan membayangkan wajahnya yang bersahaja.
Selamat jalan, Mas Didi Kempot, sang 'ambyarsador' of broken heart.
Semoga amal dan kebaikanmu diterima oleh Yang Maha Kuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H