An Namira, begitulah nama masjid tersebut. Secara fisik, ukurannya tidak besar. Maklum saja, hanya sebuah masjid desa yang berada di pesisir dan jauh dari keramaian kota.
Namun jika kita mengunjungi masjid yang berada di Ratatotok, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara ini, ada rasa damai yang hinggap di sanubari. Tak hanya itu, ada kebanggaan yang timbul atas toleransi umat beragama di desa tersebut.
Suatu ketika di tahun 2016, saya mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Teluk Buyat, Sulawesi Utara. Perairan Teluk Buyat ini begitu indah. Air lautnya berwarna biru jernih. Berbagai jenis ikan dan terumbu karang hidup di dalamnya.
Selain lautnya, daratan di sekitar Teluk Buyat juga indah. Daratannya berbukit-bukit, dan masih banyak pepohonan yang tumbuh. Hijau, menyejukkan mata.
Salah satu pantai yang memiliki potensi wisata yaitu Pantai Lakban. Pantai ini memiliki daratan yang landai, ditambah dengan pohon kelapa yang memanjang mengikuti garis pantainya. Di hadapan pantai, ada deretan pulau yang berjajar.
Saat berkunjung ke Pantai Lakban pada pagi hari, saya sempat menyaksikan kegiatan nelayan setempat. Perahu-perahu nelayan mendarat, setelah pada malam sebelumnya mencari ikan di laut.
Di pantai yang tenang ini saya menjumpai Masjid An Namira, tak jauh dari lokasi para nelayan tadi. Keistimewaan dari masjid ini yaitu berdiri berdekatan dengan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM).
Ada dua agama besar yang dianut oleh penduduk Ratatotok, juga masyarakat Minahasa pada umumnya, yakni Islam dan Kristen. Umat dari dua agama ini hidup rukun berdampingan satu dengan yang lain.
Saat umat Kristen merayakan hari besar keagamaan seperti Natal, maka umat Islam turut berjaga-jaga di sekitar lingkungan gereja. Begitu juga sebaliknya saat umat Islam beribadah atau merayakan hari besar keagamaannya seperti Idul Fitri, umat Kristen dengan senang hati berjaga di lingkungan tersebut.
Masyarakat Ratatotok yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan ini, berasal dari berbagai suku. Tidak hanya suku Minahasa, tetapi juga Bolaang Mongondow, Gorontalo, Bugis, hingga Jawa. Mereka hidup rukun satu dengan yang lain.