Di Desa Bendar yang berada di sisi timur ungai, nelayan tak tinggal di gubuk reyot, tapi di rumah-rumah seperti istana. Rumah besar dengan dua lantai, pilar-pilar tinggi, lantai berlapis marmer, dan atap genteng beton banyak dijumpai di Bendar.
Dahulu memang nelayan Juwana tidak sejahtera. Kehidupan mereka mulai membaik ketika pemerintah mengeruk Sungai Juwana tahun 1980-an. Sebelumnya, pelumpuran sempat mematikan Juwana.Â
Dengan ramainya kapal ke Sungai Juwana setelah pengerukan itu, maka denyut perekonomian semakin mengencang.
Keberhasilan yang terjadi di Bendar menular ke luar desa. Ratusan petani di sebelah selatan Jalan Raya Daendels ikut bergantung kepada nelayan Bendar.Â
Seusai musim tanam, para petani tersebut datang ke Bendar untuk menjadi ABK. Sejak tahun 1980-an, seiring lonjakan ekonomi Bendar, desa ini memang mulai kekurangan awak kapal. Hampir semua nelayan memiliki kapal sendiri, bahkan ada yang punya lebih dari 1 kapal.
Hubungan kekerabatan begitu kental di Bendar. Nakhoda kapal dan motoris (kepala mesin) kebanyakan memiliki hubungan saudara dengan pemilik kapal. Selain itu di Bendar juga tidak beraku sistem ijon, tetapi bagi hasil.Â
Nakhoda dan kru biasanya juga memiliki saham di kapal yang mereka operasikan. Dengan hubungan kekerabatan dan pembagian saham ini, kemungkinan kecurangan berupa penjualan hasil tangkapan di tengah laut jarang terjadi.
Ah, andai saja kesuksesan nelayan Juwana juga terjadi di banyak tempat lainnya. Andai juga setiap sungai di negeri ini bisa seperti Silugonggo, urat nadi yang terus berdenyut seiring dengan kesejahteraan warga sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H