Secara ringkas, pay it forward ini akhirnya mampu mengubah banyak orang, dan bahkan Trevor diwawancarai oleh sebuah stasiun televisi untuk menceritakan hal tersebut. Namun sayang, kejadian tragis menimpa Trevor ketika ia terlibat perkelahian yang berujung pada kematiannya.Â
Kebaikan dalam Secangkir Kopi
Salah satu contoh nyata yaitu sebuah peristiwa di Starbucks di St. Petersburg. Aksi kebaikan berawal pada hari Rabu jam 7 pagi ketika seorang wanita memesan iced coffee. Ia membayar minuman tersebut, juga caramel macchiato yang dipesan orang yang tak dikenalnya yang berada di belakangnya di antrian drive through.
Orang di belakangnya tersebut kemudian meneruskan kebaikan tersebut dengan membayar pesanan dari orang yang di belakangnya lagi, begitu seterusnya. Pada jam 01.30 siang, aksi kebaikan berantai tersebut mencapai 260 pelanggan.
Dalam layanan drive through, pelanggan memesan melalui sebuah speaker. Ketika ia bergerak mendekati jendela berikutnya, sang barista memberitahunya bahwa minuman pesanan sudah dibayar oleh pelanggan di depannya. Sang barista kemudian menanyainya, apakah ia akan meneruskan kebaikan tersebut.Â
Hal tersebut terus berlangsung hingga Starbucks tutup jam 10 malam. Bahkan pada keesokan harinya hal tersebut juga terus berlanjut hingga jam 6 sore, pada pelanggan ke-379 yang memesan regular coffee.Â
Sang barista memberitahunya tentang rantai yang sudah berlangsung tersebut dan menanyainya apakah ia juga akan ikut berpartisipasi. Pelanggan tersebut mengatakan bahwa ia hanya akan membayar minuman yang dipesannya dan bukan pesanan orang lain. Nampaknya ia tidak memahami konsep pay it forward yang tengah terjadi.
Kebaikan Beasiswa Pendidikan
Pay it forward menggambarkan sebuah manfaat dari sebuah tindakan kebaikan yang harus diteruskan dengan kebaikan lainnya yang dilakukan kepada orang lain. Sebuah kebaikan mungkin tidaklah terlihat luar biasa, namun ketika kebaikan tersebut menginspirasi kebaikan yang lain, maka akan memberi dampak sosial yang dahsyat.
Kisah nyata lainnya terjadi beberapa dekade yang lalu. Seorang wanita penyintas holocaust bernama Hilde Back memutuskan untuk berpartisipasi dalam sebuah program sponsorship internasional yang diorganisasi oleh sebuah kelompok di Swedia.
Kelompok ini mendedikasikan diri untuk membantu pendidikan anak-anak miskin di Kenya. Donasi yang diberikan Hilde Back tidaklah besar, seperti setetes air di lautan sebagaimana yang dideskripsikannya.