Mohon tunggu...
Daniel Mashudi
Daniel Mashudi Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer

https://samleinad.com E-mail: daniel.mashudi@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Penamat Terakhir

6 Oktober 2016   01:23 Diperbarui: 6 Oktober 2016   01:28 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa menit menuju 12 malam, di mana delapan puluhan peserta lari akan memulai balapan sejauh 50 kilometer dari kantor bupati Sleman menuju Kaliurang. Ini adalah ultra marathon pertama yang aku ikuti, dan aku tidak memasang target waktu untuk menyelesaikannya. Aku bahkan belum pernah menempuh jarak marathon (42,195 kilometer) sebelumnya, jadi cukup wajar seandainya aku besok pagi atau siang hari bisa menuntaskan jarak 50 kilometer itu sudah cukup bagiku.

Pikiranku kembali mengingat tahun 2009 ketika aku terkena penyakit paru-paru dan dirawat beberapa hari di rumah sakit. Keadaan yang membuatku patah semangat dan menjadi salah satu titik terendah di dalam hidup. Sebuah pertanyaan atau lebih tepatnya tantangan untuk diriku sendiri, bisakah suatu saat nanti seorang yang pernah mengidap penyakit paru-paru mendaki gunung atau berlari marathon. 

Setahun mengonsumsi obat secara rutin, aku akhirnya benar-benar sembuh. Tahun 2013 aku bisa menjawab salah satu tantangan. Dengan berpayah-susah aku mampu berdiri di tepi kaldera Rinjani, meski aku tidak sanggup menggapai puncak 3276 meter yang hanya tinggal beberapa ratus meter lagi. Dan malam ini, aku akan mencoba menjawab satu tantangan lainnya. Bukan sebuah perkara yang mudah, tapi aku akan berusaha melakukannya.

***

 

Ada yang aku suka tentang matahari. Ketika ia terbit yang memberiku inspirasi, dan ketika ia terbenam yang mengajakku berefleksi. 

Seperti kebanyakan orang, aku sangat menikmati keindahan pagi dan sore hari dengan langit merah keemasannya. Di gunung, pantai, kota, desa, atau tempat lainnya, keindahan saat matahari terbit atau terbenam adalah momen yang kerap diabadikan dengan jepretan kamera. Aku memang hobi memotret, walau tidak bagus hasilnya. Beberapa tahun lalu ketika sering jalan-jalan, aku suka mengunggah foto-foto di media sosial dan menulisnya di blog ini. 

Satu lagi hobi baru yang setahun ini aku lakukan, yakni jogging atau berlari. Sebuah olahraga yang sangat gampang dilakukan, namun sulit untuk memulainya. Dibilang gampang karena memang jogging tidak memerlukan keahlian khusus, cukup berlari-lari sesuai kemampuan. Meski gampang melakukannya, kebanyakan orang termasuk aku enggan untuk memulainya. Ada saja alasannya, karena sibuk dan tidak punya waktu senggang, atau badan sedang lelah. Namun demi menjaga kesehatan, perlu sebuah kesungguhan untuk melakukannya.

Mulailah tahun 2015 lalu aku rutin melakukan jogging di jalan perumahan tempat saya tinggal. Menikmati dengan sepenuh hati adalah cara untuk membuatku tidak bosan berjogging. Sebuah kegiatan jika dilakukan dengan senang hati, tentunya tidak akan dirasakan sebagai beban. 

***

 

Jam 5 pagi aku tiba di water station ketiga. Sudah 30 kilometer jalan raya dan jalan perkampungan di Kabupaten Sleman aku tempuh, dan masih ada 20 kilometer lagi sisanya. Aku beristirahat dan duduk selonjor cukup lama di sini, sementara peserta lain melakukan sholat subuh. Lutut, pergelangan kaki, dan pinggang kiriku mulai terasa nyeri.

Setelah setengah jam beristirahat, aku dan sekitar lima peserta lain mulai melanjutkan berlari. Kami adalah rombongan terakhir dari peserta kategori 50 K. Cuaca pagi cukup cerah dan udara pegunungan yang menyegarkan mengiringi kami di sepanjang jalan aspal yang tidak terlalu lebar. Sementara di depan kami, Gunung Merapi terlihat begitu tenang dan berwibawa. 

Selfie dulu...
Selfie dulu...

Kondisi kaki kiriku sudah tidak memungkinkan lagi untuk berlari, namun aku tak ingin mengakhiri lomba ini. Di kilometer ke-32 aku sudah tidak dapat berlari, bahkan berjalan pun tidak lancar. Peserta 50 K sudah meninggalkanku semua, dan aku berada di posisi terakhir. Sementara beberapa peserta dari kategori  100 K sudah mulai mendahuluiku.

Aku mengambil dua batang kayu yang aku gunakan sebagai tongkat untuk membantuku berjalan. Seorang marshal dengan mengendarai sepeda dengan setia membuntutiku sebagai peserta paling belakang. Masih ada 18 kilometer lagi yang perlu ku selesaikan, dan aku tak mau menyerah meski harus menempuhnya dengan berjalan terpincang-pincang.

***

 

Jogging sambil memotret. Ya, itulah cara yang aku lakukan agar aku tidak bosan melakukan olahraga. Dapat sehatnya, dapat juga fun-nya. Saat berlari sekian ratus meter dan aku menemui objek yang menarik, maka aku berhenti dan mengeluarkan ponsel untuk memotretnya. 

Banyak objek yang aku potret seperti masjid, gerbang, bangunan, atau anak-anak yang bersepeda saat berangkat ke sekolah. Salah satu foto yang aku suka adalah foto replika gerbang Little Kyoto dengan latar belakang matahari yang baru saja terbit dan langit berwarna kemerahan.

Pagi yang Indah
Pagi yang Indah
Dua atau tiga kali dalam seminggu aku biasa melakukan jogging. Waktunya bisa pagi hari sebelum berangkat kerja, atau sore hari sepulang kerja memanfaatkan waktu 30-40 menit yang ada. Atau jika ketika hari Minggu dan hari libur, aku menambahnya menjadi 1 jam atau lebih. Rutin melakukan jogging, aku merasakan manfaatnya. Badan terasa lebih bugar dan sangat membantu dalam melakukan aktifitas sehari-hari. 

Perkembangan berlariku juga menunjukkan tren positif. Jika pada saat memulai jogging aku harus berhenti beberapa kali karena kehabisan nafas, hal itu kini sudah mulai teratasi. Jika dulu hanya mampu menempuh tiga kilometeran dalam tiga puluh menit, jarak tersebut kini telah mencapai sekitar 5 kilometer. Akhirnya aku memberanikan diri untuk ikut lomba lari, kebetulan hampir tiap minggu selalu ada perlombaan di Jakarta dan kota-kota lain.

***

Memasuki kilometer ke-40, trek jalan aspal berganti menjadi jalan tanah dan berbatu. Medan semakin berat ketika memasuki area galian batu dan pasir yang naik-turun. Apalagi udara mulai panas karena sudah jam 11 siang, dan aku terseok-seok berjalan dengan bantuan tongkat kayu. Satu dua peserta 100 K yang melewati aku berusaha memberikan semangat.

Area Galian Batu dan Pasir
Area Galian Batu dan Pasir
Jam 12 siang aku merebahkan tubuhku di atas tumpukan batu. Setidaknya aku sudah berhasil mencapai 43-44 kilometeran. Perasaan senang sekaligus sedih bercampur. Senang karena aku berhasil melewati jarak marathon (42,195 kilometer), dan sedih karena batas waktu 12 jam yang ditetapkan panitia lomba untuk jarak 50 K sudah habis. Meski demikian, aku memutuskan untuk meneruskan beberapa kilometer terakhir berapa pun lamanya waktu yang bisa ku tempuh. 

***

Aku akan selalu ingat lomba lari pertama yang aku ikuti. Bulan Desember 2015, sebuah lomba lari di Jakarta Selatan yang kebetulan bersamaan dengan pelaksanaan Kompasianival. Hari Sabtu sore hingga malam aku menyempatkan mampir ke Kompasianival dan menikmati beberapa sesi talk show. Dan malam harinya aku menginap di hotel di kawasan Blok M.

Sial, aku bangun kesiangan. Jam 6 pagi aku baru bangun, sementara jam 6.15 lomba dimulai. Aku segera cuci muka dan gosok gigi, lalu mengenakan baju, celana dan sepatu. Terburu-buru aku keluar hotel dan mencegat taksi untuk menuju kawasan Senayan.

Minggu pagi itu taksi tidak bisa mengantarkanku sampai ke tempat lomba karena bertepatan dengan car free day. Terpaksa aku turun dan berlari menuju area lomba. Dari kejauhan aku mendengar tembakan start lomba. Ketika peserta lain berlari meninggalkan garis start, aku malah berlari tergopoh-gopoh menuju garis start. Aku terlambat lima menit memulai lomba. Haha…

***

Di Kali Mati, sekitar 3 kilometer terakhir turun hujan cukup deras. Aku masih terseok-seok di rute menanjak di tengah-tengah hutan untuk meneruskan lomba, dengan didampingi dua panitia. Kami sempat berteduh di sebuah bangunan, dengan kondisi baju dan celana yang basah kuyup. Dua panitia tersebut akhirnya kembali ke Kali Mati untuk menjemput peserta 100 K.

Aku berjalan di tengah guyuran hujan lebat, masih dengan memegang dua tongkat kayu. Hingga akhirnya aku menginjakkan kaki di garis finish jam 4 sore, atau 16 jam sejak lomba dimulai. Aku menjadi peserta terakhir di kategori 50 K dengan catatan waktu ‘over COT (cut of time)’.  

Di tengah guyuran hujan, aku tersenyum puas di garis finish. Aku puas telah berhasil menamatkan perjuanganku, meski harus menjadi penamat terakhir . Aku puas telah berhasil menjawab salah satu tantangan yang pernah ku buat sekian tahun yang lalu, meski dalam kondisi yang tidak mengenakkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun