Setiap kali aku membongkar-bangkir isi laci sebuah buffet kayu di ruang tamu di rumah orang tuaku di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, maka kenangan-kenangan masa laluku pun datang kembali. Beberapa dokumen yang ada saat ini masih tersimpan seperti saat aku meninggalkan kampung halamanku untuk meneruskan pendidikan seusai lulus SMU. Ada album foto, buku rapor, ijazah, bahkan soal-soal ujian EBTANAS dan UMPTN, juga brosur-brosur bimbingan belajar, semua masih tersimpan di laci itu.
[caption id="attachment_194654" align="aligncenter" width="540" caption="(Bermacam brosur bimbingan belajar - dok. pribadi)"][/caption]
Sewaktu sekolah, aku memang bisa dikatakan memiliki prestasi yang baik. Sejak SD sampai SMU, mendapatkan ranking tiga besar di kelas bukanlah hal yang sulit bagiku. Tak ada kesusahan berarti bagiku untuk mengikuti setiap mata pelajaran di sekolah. Kata 'gagal' atau 'tidak bisa' adalah kata yang jarang bahkan hampir tidak pernah terjadi waktu aku sekolah dulu. Selain berprestasi di sekolah, aku tergolong anak yang taat dalam beribadah.
Seperti umumnya teman-temanku, aku pun berniat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seusai SMU. Universitas Diponegoro di Semarang atau Universitas Gajah Mada di Yogyakarta adalah tempat yang aku dambakan untuk bisa kuliah, karena memang kedua universitas tersebut memiliki mutu yang bagus dan lokasinya yang tidak terlalu jauh dari kotaku. Dan aku pun sangat optimis bisa mewujudkan dan meraih cita-citaku tersebut.
Lulus dari SMU terbaik di kotaku, aku dan beberapa temanku bahkan mengikuti bimbingan belajar selama satu bulan di Yogyakarta untuk mempersiapkan diri mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi, yang waktu itu disebut dengan Ujian Masuk Perguruan Tinggi Nasional (UMPTN). Hingga akhirnya sebuah peristiwa yang menurutku 'aneh' terjadi pada saat hari H pelaksanaan UMPTN lima belas tahun yang lalu.
[caption id="attachment_194655" align="aligncenter" width="540" caption="(Kumpulan soal latihan EBTANAS dan UMPTN - dok. pribadi)"]
Pelaksanaan UMPTN pada waktu itu berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Hari pertama adalah untuk soal umum yang harus diikuti oleh peserta yang memilih jurusan IPA dan IPS. Hari kedua adalah soal untuk IPA. Dan hari ketiga untuk soal IPS. Aku sendiri perlu mengikuti ujian hari pertama dan kedua, karena memang jurusan yang aku pilih adalah IPA. Dan aku pun optimis bisa menyelesaikan soal-soal yang akan aku hadapi.
Dan pada pagi hari di hari pertama ujian itulah peristiwa 'aneh' terjadi. Mendadak aku terkena flu ringan pagi itu. Setelah minum obat, aku pun berangkat menuju tempat pelaksanaan ujian di gedung Fakultas MIPA Universitas Gajah Mada. Meski flu yang aku alami tidak berat, namun cukup mengganggu bagiku. Beberapa kali aku harus disibukkan menyeka hidung yang berair.
Di hari kedua pun aku masih mengalami hal yang tidak mengenakkan tersebut. Namun begitu pelaksanaan ujian hari kedua selesai, flu yang aku derita tiba-tiba hilang begitu saja saat aku meninggalkan tempat ujian siang itu. Suatu kejadian yang aneh. Meski dua hari tersebut kurang optimal dalam menyelesaikan soal-soal ujian, aku masih menyimpan optimisme untuk diterima di salah satu jurusan dari dua pilihan yang aku ambil.
[caption id="attachment_194656" align="aligncenter" width="540" caption="(Contoh soal ujian - dok. pribadi)"]
Setelah menunggu beberapa minggu, akhirnya hasil ujian UMPTN pun diumumkan. Aku yang saat itu sudah kembali ke kotaku pun membeli koran yang memuat nama-nama peserta yang lolos. Berkali-kali aku membaca beberapa lembar koran tersebut, namun nomor ujian dan namaku tidak tercantum di situ. Aku gagal! Sebuah pukulan yang teramat berat bagiku saat itu. Mungkin inilah salah satu kegagalan terbesar yang aku alami dalam hidupku. Aku dan beberapa temanku pun heran terhadap kegagalanku itu.
Aku akhirnya diterima di salah satu perguruan tinggi kedinasan di kota Tangerang tahun itu juga. Aku tidak memiliki niat untuk mengikuti kembali UMPTN di tahun berikutnya. Kegagalan di UMPTN lima belas tahun lalu tersebut tidak mungkin bisa aku lupakan. Demikian juga dengan flu aneh yang aku alami saat ujian, sampai saat ini aku pun masih belum bisa menjawab apa penyebabnya.
Namun di balik peristiwa itu, setelah melalui waktu yang sangat panjang untuk merenungkannya, aku bisa memahami sebuah nilai hidup. Bahwa sehebat apa pun manusia, ia tidak berkuasa 100% untuk menentukan jalan hidupnya. Bahwa sehebat apa pun ia, masih tersimpan ruang-ruang yang memungkinkannya untuk gagal. Oleh karenanya, sikap rendah hati perlu dimiliki oleh semua orang dalam menjalani hidup. Mungkin kerendahan hati inilah yang perlu untuk selalu kumiliki, sehingga bahkan kegagalan pun memang diperlukan dan diizinkan-Nya terjadi untuk itu.
Dan setiap kali aku membuka dan membongkar-bangkir isi laci buffet kayu itu, maka kenangan masa lalu dan perasaan yang mengharu biru selalu menghampiriku. Aku tidak ingin melupakan kenangan itu. Aku pun tidak pernah berniat untuk membuang benda-benda masa lalu itu. Biarlah semuanya tetap ada seperti dulu untuk selalu mengingatkanku bahwa kegagalan itu sekali-kali memang perlu terjadi.
***
(Tulisan ini aku buat untuk memeriahkan Lomba Blogging bersama Cengengesan Family. Tulisan rekan-rekan kompasianer lain bisa dilihat di sini).
(musik)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H