Beberapa lama ini muncul berita yang selalu menggelitik bila dibaca. Yakni keberadaan pengemis di kota yang terorganisir dan betapa industri mengemis memberikan return yang cukup besar bagi pelakunya. Disampaikan juga terdapat desa dengan jumlah pengemis yang cukup banyak yang memiliki rumah sangat layak di desa, hasil dari profesi mengemis di perkotaan.
Tidak disangkal lagi bahwa industri meminta iba ini sudah menjadi industri yang sangat menguntungkan dengan banyak kreativitas di dalamnya. Â Entah dengan mengikutkan bayi, anak kecil, memanipulasi anggota tubuh tertentu sehingga terlihat difabel ataupun kreatifitas lainnya seperti mengamen atau menyebarkan amplop mengatasnamakan yayasan tertentu. Industri ini tidak pernah padam, malah secara musiman memiliki waktunya sendiri untuk "booming".
Saking absurdnya kreatifitas meminta iba ini, sampai orang yang memang ingin dengan tulus membantu jadi kebingungan dan urung mengulurkan tangannya dalam menolong sesamanya.Â
Tidak usah kita sangkal bahwa masih banyak sesama kita yang memang berada pada garis kemiskinan dan perlu bantuan. Ke sanalah sebetulnya kita perlu mengarahkan bantuan tersebut. Kewajiban yang juga disarankan oleh banyak agama ini sepatutnya juga menjadi sarana pendidikan yang baik bagi anak keturunan kita untuk memiliki kepekaan sosial kepada sesamanya yang berkekurangan.
Ada sebuah lelucon di Instagram yang memberikan hitungan matematika mengenai betapa menguntungkannya mengemis ini di sebuah lampu merah. Berapa kali lampu merah dalam 8 jam dikalikan dengan pemberian 2 ribu rupiah sekali lampu merah akan menjadi penghasilan sehari seorang pengemis yang jika dikalikan 30 hari akan menjadi penghasilan bulanan yang lebih dari cukup kalau tidak bisa dibilang fantastis.
Lalu, harus bagaimana dengan pengemis ?
Sebetulnya pertanyaan yang gampang ini bisa agak susah jawabnya karena kita sulit menentukan mana yang "real" dan mana yang "fake". Maka jawaban ini bisa berbeda untuk setiap orang. Kalau saya, jawabannya sebagai berikut :
Satu, patokannya "kata hati". Kalau hati bilang "tidak" ya tidak usah dikasih, semelas apapun pengemis itu. Sebetulnya kita sudah punya alarm kok untuk  hal seperti ini jadi sebaiknya kita manfaatkan alarm alami kita untuk dimnafaatkan dalam kondisi pengambilan keputusan seperti ini.
Kedua, karena patokannya "kata hati", maka kalau tidak konsisten juga tidak apa apa. Tidak usah memberi secara konsisten ke satu pengemis. Sebaiknya kita berikan secara bergantian, sehingga bila kita datang dan tidak memberi apa apa, tidak menimbulkan harapan yang berlebihan dari si pengemis.Â
Ketiga, Saya kira anda setuju bila memberi itu memiliki banyak caranya, tidak hanya memberi langsung kepada pengemis. Banyak lembaga yang terpercaya yang dapat membantu kita untuk menyalurkan bantuan yang kita berikan ke pihak yang memang membutuhkan. Jadi mari manfaatkan lembaga tersebut untuk menjadi "alat penyaring atau penyeleksi" sehingga kita bisa memastikan bantuan tersebut sampai ke orangnya dengan tepat.
Keempat, Hal lainnya yang juga penting adalah menetapkan batasan dalam memberi. Walaupun anda seorang "giver" yang suka memberi dan mendapatkan kepuasan batin dengan hal itu, tetaplah buat batasannya bersama pasangan Anda. Memberi bantuan adalah sesuatu keputusan yang emosional sehingga perlu kita bicarakan dengan pasangan untuk memastikan bantuan yang diberikan tetap proporsional.