Beberapa peristiwa menggelikan terjadi dalam beberapa hari ini. Salah satunya, tempat dimana teman kami belajar data analyst tutup secara mendadak. Tutup begitu saja melalui pemberitahuan email. Padahal sebelumnya kegiatan belajar mengajar secara online masih aktif berjalan.Â
Saya sempat menceritakan hal ini ke beberapa kawan dan dengan tertawa sinis mereka berkata, teman kami ini sudah jadi korban penipuan. Mungkin juga ada faktor ketidakhati-hatian disini. Tapi kenapa setelah 3 bulan yang begitu aktif, sekolah itu tutup? Tutup seketika.
Disini saya melihat kenapa sesuatu yang berbau online menjadi begitu rapuh ya. Padahal rapuhnya sebuah bisnis mungkin bukan soal online atau offline-nya bisnis itu. Itu mungkin murni faktor kemampuan menjalankan bisnis. Entah bisnis modelnya yang kurang pas dengan kebutuhan, atau salah asumsi. Namun yang jelas karena saat ini adalah masanya banyak bisnis di-online-kan, menjadi agak lumrah untuk sedikit berbicara tentang bisnis online dan bagaimana bisa tetap obyektif memandangnya.
Kalau dilihat sebetulnya apa sih yang dimaksud bisnis online. Sebuah bisnis autopilot-kah atau semua bisnis yang menggunakan internet bisa disebut bisnis online? Mungkin kita pakai definisi yang lebih mudah saja ya. Bahwa bisnis online adalah bisnis yang melibatkan internet atau sosmed, entah cuma seperberapa bagian, kita sebut saja itu bisnis online.Â
BIsnis dengan platform internet menggunakan sosial media memiliki keuntungan dari sisi ruang dan waktu. Kita bisa mengaksesnya kapanpun dan dimanapun. Kita memiliki kemampuan untuk mengatur waktu kita sendiri dan di sisi lain memanfaatkan jasa yang ditawarkan 24 jam selama 7 hari seminggu. Kita sudah memanfaatkannya pada banyak bidang kehidupan sehingga menjelaskannya terasa kurang menarik.
Yang menarik adalah kalau bisnis internet itu gampang diakses, seberapa dapat dipercaya informasi yang diberikan oleh si pemberi informasi itu? seberapa thurstworthy bisnis itu? Ini yang sulit. karena ternyata di internet, dapat dipercaya itu dapat dibeli. Dibeli oleh apa?Â
Yang pertama, kepercayaan yang dibeli oleh influencer. Namanya saja influencer, Tentu dia punya pengaruh terhadap pengikutnya. Kalau dia bilang A benar, maka A itu benar. Apakah A benar benar sungguh benar ? Belum tentu. Karena A yang disampaikan benar oleh influencer memiliki bias kerjasama komersial dibelakangnya.Â
Apakah semua begitu ? tentu tidak semua, ada yang juga menyampaikan A secara obyektif juga. Namun jumlahnya mungkin tidak banyak. Â Karena kan ini dilakukan awalnya untuk tujuan komersial, namanya juga market place di bisnis online, tentu kalau sifatnya komersial wajar saja. Soal obyektifitas seringkali menjadi hal yang kurang prioritas.
Yang kedua,kepercayaan yang dibeli oleh keseringan. Â jika A semakin sering tampil di sosmed, maka A akan cenderung dianggap benar. Ini mungkin sudah menjadi sebuah rumus yang dipahami oleh para jagoan advertising atau promosi. Mestinya ada formulanya ketika sebuah keputusan membeli dipengaruhi oleh seberapa sering iklan product itu tampil di internet dan diakses di sosmed yang tepat. Â Saya sendiri tidak tahu rumusnya. Namun menjadi sangat logis ketika sesuatu itu sering kita lihat, itu akan mempengaruhi preferensi kita akan sebuah pilihan. Entah itu pilihan kepada pembelian produk di bisnis online, pilihan untuk anggota DPR ataupun memilih presiden.
Yang ketiga, kepercayaan yang dibeli oleh preferensi machine learning atau AI. Sudah sering dijelaskan bahwa machine learning atau artificial Intelligent yang berada di belakang setiap program sosmed akan merekam setiap tindakan kita dalam mengakses internet.Â